Selasa, 27 Desember 2011

Calo Tiket

CALO TIKET

Oleh
Ustadz Erwandi Tarmidzi MA



Dalam kamus besar bahasa Indonesia, calo berarti orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo bisa disamakan dengan makelar atau perantara. Dalam hal ini calo tiket dapat diartikan dengan perantara perusahaan pemberi jasa transportasi dan pengguna jasa.

Keberadaan calo sangat dibutuhkan oleh pihak produsen, pemilik barang atau jasa untuk memasarkan barang/jasa yang mereka miliki. Dan juga sangat dibutuhkan oleh para pembeli/pengguna jasa untuk memberikan informasi yang akurat sehingga pihak konsumen dapat menentukan pilihan mereka terhadap barang/jasa sesuai dengan keinginan dan anggaran mereka.

Karena kebutuhan pemilik barang/jasa dan konsumen akan jasa calo maka keberadaan calo sudah dikenal sejak lama dari masa Rasulullah dan qurun mufaddhalah, profesi calo dikenal dengan sebutan dallal atau simsaar.[1]

Pekerjaan mereka di saat itu adalah meneriakkan nama barang serta sepesifikasinya sehingga para pembeli berdatangan ke tempat tersebut untuk membeli barang yang mereka inginkan. Setelah selesai meneriakkan barang, mereka mendapatkan imbalan dari pemilik barang atas pekerajan mereka. [2]

Atas dasar kebutuhan akan jasa calo dan karena hukum asal muamalat adalah mubah selama tidak terdapat larangan, maka profesi calo dibenarkan dalam Islam serta upah yang mereka dapatkan hukumnya halal. [3]

Kebolehan hukum calo telah dijelaskan oleh para ulama : Imam Bukhari (wafat 256H) berkata : “Bab : Upah calo. Ibnu Sirrin, Atha, Ibrahim An-Nakha’i, Hasan Al-Bashri membolehkan upa calo … dan Ibnu Abas. “[4]

An-Nawawi (ulama mazhab Syafi’i wafat : 676H) berkata : “Upah calo dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk menjualkan barangnya. [5]

An-Najdy (ulama mazhab Hanbali wafat : 1392H) berkata : Upah calo dibayar oleh pemilk barang, ini adalah kebiasaan yang berlaku di pasar. [6]

Namun realita di zaman modern di mana para calo tersebut jauh dari mengenal tuntutan syariat dalam menjalankan profesinya, sering kali mereka melakukan pelanggaran. Hal ini berdampak terhadap rusaknya citra para calo dan terciptalah citra bahwa calo identik dengan sikap pemaksaan serta penipuan, termasuk calo tiket di terminal, pelabuhan dan bandara.

Berikut ini beberapa pelanggaran yang kerap dipraktekkan oleh para calo tiket.

1.Pemaksaan terhadap calon penumpang agar membeli tiket
Sudah menjadi pemandangan umum di beberapa terminal bis antar kota pada musim liburan para calo perusahaan bis berkerumun mendekati orang yang membawa tas koper yang diperkirakan akan menggunakan salah satu jasa angkutan.

Mulai dari menanyakan tujuan perjalanan hingga terkadang menarik-narik barang bawaan calon penumpang dan memaksanya untuk menggunakan jasa angkutan mereka.

Bila ini yang terjadi, calon penumpang membeli tiket perusahaan angkutan tersebut dalam keadaan setengah terpaksa maka sesungguhnya akad jual-beli tiket tidak sah, karena ada unsur pemaksaan [7], serta upah yang didapatkan calo dari usahanya tersebut tidak halal.

Berdasarkan firman Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu” [An-Nisaa : 29]

Maksud suka sama suka dalam ayat diatas tidak ada unsur pemaksaan dari salah satu pihak. Dan bila terdapat unsur pemaksaan, uang hasil imbalan barang dan jasa termasuk memakan harta orang lain dengan jalan yag batil.

2.Tidak jujur dalam memberikan informasi fasilitas jasa angkutan.
Selain setengah memaksa calon penumpang secara fisik, seringkali calo tidak jujur memberikan informasi kepada calon penumpang, seperti ; calo saat ditanya tentang jam keberangkatan ia menginformasikan bis akan berangkat sekarang, padahal ia tahu bahwa bis baru berangkat setelah dua jam kemudian.

Tindakan calo ini merupakan ghissy (penipuan) dalam akad dan hukumnya haram, bahkan sebagian ahli fiqh menempatkan ghissy dalam deretan dosa besar, dengan alasan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [8]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. : “Siapa yang melakukan ghissy (penipuan) dalam akad, tidaklah ia termasuk umatku” [HR Muslim]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

فَإِنْ صَدَقَاوَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَافِي بَيْعِهِمَا وَإِ نْ كَذَبَا وَكَتَمَا فَعَسَى أَنْ يَرْبَحَا رِبْحًا وَيُمْحَقَا بَرَ كَةَ بَيْعِهِمَا

“Jika penjual dan pembeli jujur serta menjelaskan cacat barang/jasa niscaya akad jual-beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta serta menyembunyikan cacat barang/jasa dihapus keberkahan dari akad jual-beli mereka” [HR Bukhari dan Muslim]

Ada juga calo tiket jenis lain, yaitu calo tiket kereta api dan pesawat terbang. Mereka membeli ticket sebanyak mungkin sebelum musim liburan. Pada saat jatuh temponya mereka berkeliaran di setasiun dan bandara untuk menjual ticket.

Pelanggaran kaidah muamalat yang sering dilanggar oleh calo jenis ini, diantaranya ;

a.Tindakan calo dengan memborong tiket angkutan umum termasuk bagian dari ihtikar.
Ihtikar adalah membeli sesuatu dengan tujuan menimbunnya, tindakan ini tentu menyebabkan harga menjadi naik dan pada saat itu penimbun menjualnya dengan harga sesukanya, karena pembeli dalam keadaan sangat membutuhkan barang tersebut ia terdesak untuk membelinya.

Ini yang dilakukan oleh calo tiket, ia membeli tiket sebanyak mungkin dengan berbagai cara, kemudian menjualnya lebih tinggi dari harga resmi yang dijual oleh perusahaan pemberi jasa. Karena pada puncak musim liburan tiket biasanya langka dan orang-orang sangat butuh untuk bepergian, kesempatan ini dimanfaatkan oleh calo.

Ihtikar diharamkan Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ احتَكَرَ فَهُوَخَا طِىءٌ

“Orang yang membeli barang dengan tujuan menimbunnya adalah orang yang berdosa” [HR Muslim]

b.Harga tiket yang ditawarkan sangat tinggi
Biasanya calo ini menawarkan harga tiket jauh di atas harga resmi yang dijual oleh perusahaan. Karena pada saat itu tiket sudah habis, maka calon penummpang bersedia membelinya, sekalipun mereka tahu bahwa mereka tertipu.

Sebetulnya, Islam membolehkan seorang penjual mengambil laba sekalipun mencapai 100% atau bahkan lebih.

Seperti dalam kasus yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu wa sallam memberikan uang 1 dinar kepada Urwah agat ia membelikan seekor kambing untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Maka ia mendatangi para pedagang yang membawa kambing untuk dijual di pasar. Ia menawarnya dan mendapatkan 2 ekor kambing. Dalam perjalanan menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seseorang yang menawar seekor kambing seharga 1 dinar maka iapun menjualnnya, lalu memberikan kepada Nabi 1 dinar ditambah 1 ekor kambing

Akan tetapi bila laba yang tinggi disebabkan karena ihtikar yag diakukan oleh pedagang maka laba yang didapatkannya tidak halal. [9]

Oleh karena itu berbeda kasusnya jika seseorang membeli tiket kereta api, kemudian ia berhalangan untuk berangkat dan menjual tiketnya dengan harga melebihi harga resmi, halalnya baginya mendapatkan laba tersebut, karena kenaikan harga bukan hasil ihtikar.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya calo hukumnya halal bila ia tidak melakukan larangan-larangan, seperti ; memaksa pembeli, tidak jujur memberikan informasi, ihtikar dan menarik laba yang tinggi.

Karena jasa calo berkaitan dengan hajat orang banyak sudah selayaknya pihak berwenang dalam hal ini dinas perhubungan untuk menertibkan mereka, sebagaimana dahulu dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa secara langsung onggokan gandum seorang pedagang di pasar Madinah yang ternyata bagian bawahnya tidak layak jual.

Dan bila menemukan kasus ihtkar calo tiket, hendaklah pihak berwenang memaksa mereka menjualnya dengan harga normal agar tidak mendatangkan mudharat bagi khalayak ramai. [10]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “ Terkadang kenaikan harga barang disebabkan oleh tindakan penimbunan barang oleh para pedagang …. Pada saat itu pihak berwenang wajib mematok harga dan memaksa para penimbun menjual barangnya dengan harga normal ditambah laba yang masuk akal …. Agar mereka tidak dianiaya dan orang banyakpun tidak teraniaya” [11]

Wallahu a’lam bishshawab
Riyadh, 28 Rajab 1432H

[Ustadz Erwandi Tirmidzi MA, saat ini sedang menempuh Doktoral di Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, universitas terkemuka di KSA. Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim Edisi 19 Volume 2/Agustus 2011]
_______
Footnote
[1]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid X, hal.151-152
[2]. DR Abdurrahman Al Athram, Al Wisathah At Tijariyah, hal.51
[3]. DR Mubarak Al Sulaiman, Ahkamutta’amul fil Aswaq Al Maliyyah Al Mu’ashirah, jilid 1, hal.38
[4]. Shahih Bukhari, jilid III, hal.92
[5]. Raudha At Thalibin, jild IX, hal.69
[6]. Hasyiyah Ar Raudhul Murbi, jilid IV, hal.484
[7]. Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, jilid IX, hal.101
[8]. DR Abdullah As Sulamy, Al Ghissy wa Atsaruhu fil uqud, jilif I, hal.484
[9]. DR Abdullah Al Muslih, Malayasa’u at Tajir jahluh, hl.67
[10]. Dr. Fahd Al Hamud, Rtaj al Muamalat, hal. 171
[11]। Hasyiyah Ar Raudhul Murbi. Hal. 318
Artikel: http://almanhaj.or.id/

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar anda di sini!