Jika Persaksian Hilal Ditolak dalam Sidang Itsbat

Satu kasus yang sering terjadi ketika pemutusan kapan berhari raya dan memulai puasa. Di sebagian tempat ternyata melihat hilal seperti yang sering terjadi di daerah Cakung, namun di daerah lain bahkan mayoritasnya tidak tampak. Bagaimana jika ada yang melihat hilal, apakah ia tetap boleh berpuasa atau berhari raya?.....

Kumpulan Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Qodho Puasa

1. Qodho (Mengganti) Puasa yang TertundaSoal:Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang. Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?Jawab:Wajib bagimu......

Indahnya Ramadhan Bersama Al-Qur’an

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan warna ketaatan. Selain ibadah puasa di siang hari, kaum muslimin dapat menikmati keindahan tadabbur dan tilawah al-Qur’an di malam hari. Dengan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an itulah ketenangan jiwa akan didapatkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah, bahwa dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang.....

Shalawat Para Malaikat Bagi Orang yang Makan Sahur

Oleh Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat adalah orang yang makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah: 1. Dua Imam, yaitu Imam Ibnu Hibban dan Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:....

Keberkahan Makan Sahur

Oleh Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i DEFINISI (السَّحُوْرُ), adalah dengan memfat-hahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur [1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2] Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak....

Minggu, 27 November 2011

Muzara'ah

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Definisi Muzara’ah
Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap ta-nah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya.

Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia mem-peroleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.

Pensyaria’atan Muzara’ah
Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma memberitahukan kepadanya:

عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap tanah di Khaibar dan mereka mendapat setengah dari hasil buminya berupa buah atau hasil pertanian.”[1]

Imam al-Bukhari berkata [2] , Qais bin Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, ia berkata, tidaklah di Madinah ada penghuni rumah Hijrah kecuali mereka bercocok tanam dengan memperoleh sepertiga atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad bin Malik, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Qasim bin ‘Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga ‘Umar, keluarga ‘Ali dan Ibnu Sirin melakukan muzara’ah.

Dari Siapakah Biaya (Perawatannya)?
Tidak mengapa apabila biaya perawatan dibebankan kepada pemilik tanah atau kepada penggarap atau kepada mereka berdua.

Imam al-Bukhari berkata [3] , “'Umar bermuamalah dengan orang-orang (dengan perjanjian) bila ‘Umar yang membawa benih maka ia memperoleh setengah (dari hasilnya) dan bila mereka yang membawa benih, maka mereka memperoleh sekian.”

Ia (al-Bukhari) melanjutkan, “Berkata al-Hasan, ‘Tidak mengapa tanah tersebut jika milik salah satu dari mereka berdua, lalu mereka bersama-sama mengeluarkan biaya. Maka apa yang dihasilkan dibagi antara kedua belah pihak.’ Demikianlah yang menjadi pendapat az-Zuhri.”

Hal-Hal Yang Tidak Dibolehkan Dalam Muzara’ah
Tidak diperbolehkan muzara’ah (dengan perjanjian) bahwa petak yang ini (hasilnya) bagi si pemilik tanah dan petak yang di sana bagi si penggarap. Demikian pula tidak boleh bagi si pemilik tanah untuk mengatakan, “Aku memperoleh darinya (tanah ini) sekian dan sekian wasaq.”

Diriwayatkan dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, “Dua orang pamanku bercerita kepadaku bahwa dahulu mereka pernah menyewakan tanah di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (dengan memperoleh hasil) dari apa yang tumbuh di atas Arbu’a (yaitu sungai kecil) atau sesuatu yang dikecualikan oleh si pemilik tanah, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal tersebut.” Aku lalu bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana jika (disewakan) dengan dinar atau dirham?” Rafi’ menjawab, “Tidak mengapa jika dengan dinar atau dirham.”

Al-Laits berkata, “Yang dilarang adalah (apabila) orang-orang yang mengerti tentang halal dan haram melihat kepadanya, maka mereka tidak memperbolehkannya karena ada unsur mengadu peruntungan.” [4]

Disebutkan juga dari Hanzhalah ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa dengannya, hanyalah orang-orang di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang tumbuh) di tepian-tepian sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi (petak) ini hancur dan petak yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur. Dan orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak mengapa dengannya.” [5]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/13, no. 2329), Shahiih Muslim (IX/1186, no. 1551), Sunan Abi Dawud (IX/272, no. 3391), Sunan Ibni Majah (II/824, no. 2467), Sunan at-Tirmidzi (II/421, no. 1401).
[2]. Shahih: Shahiih al-Bukhari (V/10).
[3]. Ibid.
[4]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/299)], Shahiih al-Bukhari (V/25, no. 2346, 2347), Sunan an-Nasa-i (VII/43) tanpa perkataan al-Laits, dan al-Arbu’aa adalah jamak dari Rabii’ yaitu sungai kecil.
[5] Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/302)], Shahiih Muslim (III/1183, no. 1547 (116)), Sunan Abi Dawud (IX/250, no. 3376), Sunan an-Nasa-i (VII/43). Al-Madz-yanat adalah sungai-sungai, ia diambil dari perkataan ‘ajam (non Arab) yang kemudian masuk ke dalam perkataan mereka. Aqbaalul jadawil, yaitu per-mulaan dan kepala jamak dari qubl dengan dhammah. Dan qubl artinya juga puncak gunung. Al-jadawil jamak dari jadwal yaitu sungai kecil, (selesai). Diambil dari Hasyiah as-Sindi ‘ala Sunan an-Nasa-i (VII/43).

Artikel: http://almanhaj.or.id

Artikrl tertkait:

Kitab Jual Beli (1)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Definisi Jual Beli
Al-buyu’ adalah bentuk jamak dari bai’u, dan dijamak karena banyak macamnya.

Sedangkan bai’u yaitu memindahkan kepemilikan kepada orang lain dengan harga. Adapun syira adalah menerima bai’i tersebut. Dan setiap dari keduanya digunakan untuk menamai yang lainnya.

Pensyari’atan Jual Beli
Allah Ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275]

Juga berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” [An-Nisaa': 29)]

Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا.

“Al-Bayyi’an (penjual dan pembeli) memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah.” [1]

Kaum muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya jual beli, karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh orang lain (namun) terkadang orang tersebut tidak memberikan kepadanya, sehingga dalam pensyari’atan jual beli terdapat wasilah (perantara) untuk sampai kepada tujuan tanpa memberatkan. [2]

Anjuran Bekerja
Dari Miqdam Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ q كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.

“Tidaklah seseorang memakan makanan sedikit pun yang lebih baik dari memakan hasil kerjanya sendiri, karena sesungguhnya Nabiyullaah, Dawud Aliahissallam dahulu makan dari hasil kerjanya sendiri.” [3]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َلأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ.

"Sungguh, seseorang di antara kalian mengumpulkan seikat kayu bakar yang ia panggul di atas punggungnya (untuk dijual) adalah lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain, entah diberi atau ditolak.’” [4]

Kekayaan bagi Orang Yang Bertakwa
Dari Muadz bin ‘Abdillah bin Khubaib, dari ayahnya, dari pamannya Radhiyallahu anhum, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النَّعِيمِ.

"Tidak mengapa kekayaan bagi orang yang bertakwa. Dan kesehatan bagi orang yang bertakwa lebih baik dari pada kekayaan, dan jiwa yang baik termasuk nikmat.’” [5]

Anjuran Sederhana Dalam Mencari Penghidupan
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا، وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ.

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon, karena sesungguhnya suatu jiwa tidak akan mati sehingga dipenuhi rizkinya walaupun lambat datangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon. Ambillah yang halal dan tinggalkan yang
haram.” [6]

Anjuran Berbuat Jujur Dan Ancaman Berdusta
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah (atau beliau bersabda, ‘Hingga keduanya ber-pisah’), apabila keduanya berbuat jujur dan menjelaskan (keadaan dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya, (namun) apabila menutup-nutupinya dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual belinya.” [7]

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ.

"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual kepada saudaranya barang dagangan yang terdapat aib padanya kecuali ia menjelaskannya” [8]

Anjuran Mempermudah Dan Murah Hati Dalam Jual Beli
Dari Jabir bin ‘Abdillah Rdhiyallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.

“Semoga Allah merahmati seseorang yang murah hati apabila menjual, apabila membeli serta apabila menuntut” [9]

Keutamaan Memberi Tempo kepada Orang yang Kesulitan Membayar Hutang
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ: تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ.

“Dahulu ada seorang pedagang yang sering memberi hutang kepada manusia, apabila ia melihat orang yang kesulitan membayar hutangnya (mu’-sir) maka ia berkata kepada para pembantunya, ‘Maafkanlah ia, semoga Allah memaafkan (kesalahan-kesalahan) kita.’ Maka, Allah pun memaafkan (mengampuni) kesalahan-kesalahannya.” [10]

Larangan Menipu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

مَرَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا، فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهِ فَإِذَا هُوَ مَغْشُوشٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seseorang yang menjual makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, ternyata ia menipu, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Orang yang menipu (berbuat curang) bukan dari golongan kami.’”[11]

Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rizki
Dari Shakhr al-Ghamidi Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَللّهُمَّ بَارِكْ ِلأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا.

‘Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.’” [12]

Do’a Ketika Masuk Pasar
Dari Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, “Barangsiapa ketika masuk pasar membaca:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ، وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ كُلُّهُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

‘Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, Dia yang menghidupkan dan mematikan, Dia Mahahidup dan tidak mati, segala kebaikan berada dalam tangan-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.’

Niscaya Allah akan menuliskan satu juta kebaikan baginya dan menghapus satu juta kesalahannya dan Dia akan membangun rumah untuknya di Surga.” [13]

Allah Telah Menghalalkan Jual Beli
Hukum asalnya adalah boleh menjual apa saja dan dengan cara bagaimanapun jual beli tersebut selama dilakukan dengan saling suka sama suka antara penjual dan pembeli selama tidak dilarang oleh syari’at.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/328, no. 2110), Shahiih Muslim (III/ 1164, no. 1532), Sunan Abi Dawud (IX/330, no. 3442), Sunan at-Tirmidzi (II/359, no. 1264), Sunan an-Nasa-i (VII/244).
[2]. Fat-hul Baari (IV/287)
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5546)], Shahiih al-Bukhari (IV/303, no. 2072).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7069)], Shahiih al-Bukhari (IV/303, no. 2074), Sunan at-Tirmidzi (II/94, no. 675), Sunan an-Nasa-i (V/96).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1741)], Sunan Ibni Majah (II/724, no. 2141).
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1743)], Sunan Ibni Majah (II/725, no. 2144).
[7]. Telah disebutkan takhrijnya.
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6705)], Sunan Ibni Majah (II/755, no. 2246).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4454)], Shahiih al-Bukhari (IV/206, no. 2076).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3495)], Shahiih al-Bukhari (IV/308, no. 2078).
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1319), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1809)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2236), Sunan at-Tirmidzi (II/343, no. 1230), Sunan Abi Dawud (VII/265, no. 2589), Sunan at-Tirmidzi (II/389, no. 1329), Shahiih Muslim (I/99, no. 102).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1818)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2236), Sunan at-Tirmidzi (II/343, no. 1230), Sunan Abi Dawud (VII/265, no. 2589), dan sabda beliau: “fii bukuurihaa (di waktu paginya),” maksudnya pada apa yang mereka bawa pada awal hari.
[13]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1817)], Sunan Ibni Majah (II/752, no. 2235).

Artikel: http://almanhaj.or.id

Artikrl tertkait:

Kitab Jual Beli (2)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Macam-Macam Jual Beli Yang Dilarang Syari’at
1. Bai’ul Gharar
Yaitu semua jual beli yang mengandung unsur jahalah (ketidak-jelasan) atau mengandung unsur mengadu peruntungan atau judi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar (menjual barang yang ada unsur penipuan)” [14]

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim (X/ 156), “Larangan bai’ul gharar merupakan asas yang besar dari asas-asas kitab jual beli, oleh karena itulah Imam Muslim mendahulukannya karena masuk di dalamnya masalah-masalah yang begitu banyak tidak terbatas, seperti bai’ul aabiq (menjual budak yang kabur dari tuannya), bai’ul ma’dum (menjual sesuatu yang tidak ada), bai’ul majhul (menjual sesuatu yang tidak jelas), menjual barang yang tidak bisa diberikan kepada pembeli, menjual sesuatu yang hak kepemilikan penjual tidak sempurna, menjual ikan dalam air yang banyak, menjual susu yang masih dalam kantungnya, menjual janin yang masih dalam perut induknya, menjual seonggok makanan tanpa takaran yang jelas, menjual sepotong pakaian dari kumpulan banyak pakaian (tanpa menentukannya), menjual seekor kambing dari kumpulan banyak kambing (tanpa menentukannya), dan yang sejenisnya, semua ini hukum menjualnya adalah bathil, karena ia termasuk gharar tanpa ada hajat.”

Beliau berkata, “Apabila ada hajat yang menyeru kepada dilakukannya gharar dan tidak mungkin berlindung darinya kecuali dengan masyaqqah (cara yang berat/sulit) dan bentuk ghararnya sepele, maka boleh menjualnya. Oleh karena itulah kaum muslimin (ulama) bersepakat akan bolehnya menjual jubah yang diisi dengan kapas walaupun tidak melihat waktu mengisinya dan kalau bahan pengisinya dijual secara terpisah maka tidak boleh.”

Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa bai’ul mulamasah, bai’ul munabadzah, bai’ul hablil habalah, bai’ul hashaat, ‘asbul fahl dan macam-macam jual beli yang sejenisnya yang terdapat nash-nash khusus padanya, ini semua masuk dalam larangan bai’ul gharar, akan tetapi disebutkan secara tersendiri dan dilarang karena ia adalah jenis jual beli Jahiliyyah yang masyhur. Wallaahu a’lam.” (secara ringkas).

Bai’ul Mulamasah dan Munabadzah
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

نُهِيَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ، أَمَّا الْمُلاَمَسَةُ، فَأَنْ يَلْمِسَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَوْبَ صَاحِبِهِ بِغَيْرِ تَأَمُّلٍ، وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَوْبَهُ إِلَى اْلآخَرِ وَلَمْ يَنْظُرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا إِلَى ثَوْبِ صَاحِبِهِ.

“Dua bentuk jual beli yang dilarang; mulamasah dan munabadzah. Adapun mulamasah yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan pembeli menyentuh pakaian kawannya tanpa memperhatikan/memeriksa (ada cacat padanya atau tidak). Sedangkan munabadzah yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan pembeli melempar pakaiannya kepada yang lainnya dan salah seorang dari keduanya tidak melihat kepada pakaian saudaranya” [15]

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ وَعَنْ بَيْعَتَيْنِ، نَهَى عَنِ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ فِي الْبَيْعِ، وَالْمُلاَمَسَةُ لَمْسُ الرَّجُلِ ثَوْبَ اْلآخَرِ بِيَدِهِ بِاللَّيْلِ أَوْ بِالنَّهَارِ وَلاَ يُقَلِّبُهُ إِلاَّ بِذَلِكَ، وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ بِثَوْبِهِ وَيَنْبِذَ اْلآخَرُ ثَوْبَهُ وَيَكُونَ ذلِكَ بَيْعَهُمَا عَنْ غَيْرِ نَظَرٍ وَلاَ تَرَاضٍ.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari dua bentuk jual beli dan dua macam pakaian, beliau melarang dari mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. Dan mulamasah adalah seseorang menyentuh pakaian orang lain dengan tangannya di waktu malam atau siang dan ia tidak membolak-baliknya kecuali dengan menyentuhnya saja. Sedangkan munabadzah adalah seseorang melempar pakaiannya kepada orang lain, dan orang lain tersebut melempar pakaiannya kepadanya, dan dengan itulah cara jual beli mereka berdua tanpa melihat dan tanpa saling suka sama suka” [16]

Bai’ul Habalil Habalah
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُونَ لُحُومَ الْجَزُورِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ قَالَ وَحَبَلُ الْحَبَلَةِ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَا فِي بَطْنِهَا ثُمَّ تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذلِكَ.

“Adalah ahlul Jahiliyyah saling menjual daging unta hingga habalul habalah. Dan habalul habalah adalah agar seekor unta beranak kemudian anaknya ini bunting, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal itu.” [17]

Bai’ul Hashaat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar.” [18]

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Shahiih Muslim (X/156), “Adapun bai’ul hashaat, maka ada tiga penafsiran padanya:

Pertama: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dari pakaian-pakaian ini apa yang terkena kerikil yang aku lempar,” atau “Aku jual tanah ini kepadamu dari sini sampai sejauh kerikil yang aku lempar.”

Kedua: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dengan syarat kamu memiliki khiyar sampai aku melempar dengan kerikil ini.”

Ketiga: (Yaitu) keduanya (penjual dan pembeli) menjadikan jenis lemparan dengan kerikil itu sendiri sebagai jual beli, yaitu ia mengatakan, “Jika aku melempar pakaian ini dengan batu maka ia dibeli olehmu dengan harga sekian.” (Selesai).

‘Asbul Fahl [19]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ.

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl.” [20]

2. Bai’u Maa Laisa ‘Indahu (Jual Beli Barang Yang Tidak Ada Pada Penjualnya)
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seseorang meminta kepadaku untuk menjual, padahal aku tidak memiliki, apakah aku menjual kepadanya?’ Beliau menjawab:

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ.

"Jangan engkau jual suatu barang yang tidak engkau miliki.’” [21]

3. Jual Beli Suatu Barang yang Belum Diterima
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ.

“Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia menerimanya dahulu.”

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku menganggap segala sesuatu kedudukannya seperti makanan.” [22]

Dari Thawus, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ.

"‘Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.’”

Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau melihat mereka saling berjual beli dengan emas sedangkan makanannya tertahan (tertunda).”[23]

4. Melakukan Transaksi Jual Beli di atas Transaksi Jual Beli Saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ.

“Janganlah sebagian kalian melakukan transaksi jual beli di atas transaksi jual beli sebagian yang lain.” [24]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ.

“Janganlah seorang muslim menawar (barang) yang sedang ditawar oleh saudaranya.” [25]

5. Bai’ul ‘Inah
Yaitu menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tempo dan ia menyerahkannya kepada si pembeli, kemudian sebelum ia menerima pembayarannya ia membelinya kembali (dari si pembeli) dengan harga tunai yang lebih sedikit (lebih murah) dari harga tempo.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ.

“Apabila engkau berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian lebih senang memegang ekor-ekor sapi•, dan ridha dengan bercocok tanam, serta kalian meninggalkan kewajiban jihad, (niscaya) Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kalian kembali kepada agama kalian.” [26]

6. Jual Beli dengan Cara Tempo Dengan Menambah Harga (Jual Beli Kredit)
Dewasa ini telah tersebar jual beli dengan cara tempo dengan menambah harga yang lebih dikenal dengan nama bai’ut taqshiith (jaul beli kredit). Adapun bentuk jual beli ini -sebagaimana yang sudah maklum- adalah menjual barang dengan dikredit dengan tambahan harga sebagai balasan tempo waktu. Sebagai contoh suatu barang dengan cara tunai seharga seribu, lalu dijual dengan cara kredit seharga seribu dua ratus, jual beli seperti ini termasuk jual beli yang dilarang.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا.

“Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba.” [27]

Barang-Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan:
1. Khamr (Minuman Memabukkan)
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ahuma, ia berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ آيَاتُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ عَنْ آخِرِهَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ حُرِّمَتِ التِّجَارَةُ فِي الْخَمْرِ.

“Tatkala turun ayat-ayat surat Al-Baqarah…., Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Telah diharamkan perdagangan khamr.’” [28]

2. Bangkai, Babi Dan Patung
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika berada di Makkah pada ‘amul fath (tahun pembukaan kota Makkah):

إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأَصْنَامِ، فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لاَ هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذلِكَ قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ.

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.” Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pendapatmu tentang (menjual) lemak bangkai, sesungguhnya ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk penerangan?” Beliau menjawab, “Tidak boleh, ia haram.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, sesungguhnya Allah ketika mengharamkan lemak-lemak (hewan), mereka pun mencairkannya lalu menjualnya dan memakan uangnya.” [29]

3. Anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari hasil penjualan anjing, mahrul baghyi (uang hasil berzina/melacur) dan hulwanul kaahin (upah praktek perdukunan).” [30]

4. Lukisan (Gambar-Gambar) Yang Memiliki Ruh
Dari Said bin Abul Hasan, ia berkata, “Aku sedang berada di tempat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, tiba-tiba datang seseorang kepadanya seraya bertanya, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, aku adalah seseorang yang penghasilanku dari kerajinan tanganku, dan sesungguhnya aku membuat gambar-gambar ini.’ Maka Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Aku tidak akan menceritakan kepadamu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku telah mendengar beliau bersabda:

مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فَإِنَّ اللهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا.

"Barangsiapa yang menggambar suatu gambar (bernyawa), maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya sehingga ia meniupkan ruh padanya (gambar-gambar tadi), dan ia tidak akan mampu untuk meniupkan ruh selamanya".

Maka orang tersebut pun mengalami sesak nafas yang hebat dan wajahnya memucat. (Ibnu ‘Abbas) berkata, ‘Celaka engkau, kalau engkau enggan kecuali harus membuatnya, maka gambarlah pohon ini, (gambarlah) segala sesuatu yang tidak memiliki ruh". [31]

5. Buah Sebelum Matang
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا وَعَنِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ، قِيلَ وَمَا يَزْهُو؟ قَالَ: يَحْمَارُّ أَوْ يَصْفَارُّ.

“Bahwa beliau melarang menjual buah sebelum matang, dan kurma sehingga ia berwarna.” Lalu ada yang bertanya, “Apa maksudnya berwarna?” Beliau menjawab, “(Hingga) memerah atau menguning.” [32]

Juga diriwayatkan darinya, “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah sehingga matang. Lalu ditanyakan kepada beliau, ‘Apa maksudnya matang?’ Beliau menjawab, ‘Hingga memerah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللهُ الثَّمَرَةَ بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ.

"Apa pendapatmu apabila Allah menahan buah tersebut (tidak bisa dipanen), maka dengan cara apa salah seorang dari kamu mengambil harta saudaranya.’”[33]

6. Pertanian Sebelum Bijinya Mengeras (Tua)
Dari Ibnu ‘Umar,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ وَعَنِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual kurma hingga ma-tang, dan (melarang menjual) biji-bijian hingga mengeras (matang) [34] , serta aman dari hama. Beliau melarang penjual dan pembelinya.” [35]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[14]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 939), Irwaa-ul Ghaliil (no. 1294)], Shahiih Muslim (III/1153, no. 1513), Sunan at-Tirmidzi (II/349, no. 1248), Sunan Abi Dawud (IX/230, no. 3360), Sunan Ibni Majah (II/139, no. 2194), Sunan an-Nasa-i (VII/262).
[15]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 938)], Shahiih Muslim (III/1152, no. 1511 (2)).
[16]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1152, no. 1512) dan ini lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (IV/358, no. 2147, 44), Sunan Abi Dawud (IX/231, no. 3362), Sunan an-Nasa-i (VII/260)
[17]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/356, no. 2143), Shahiih Muslim (III/ 1153, no. 1514), Sunan Abi Dawud (IX/233, no. 3364, 65), Sunan at-Tirmidzi (II/349, no. 1247) secara ringkas, Sunan an-Nasa-i (VII/293), Sunan Ibni Majah (II/740, no. 2197) secara ringkas.
[18]. Telah disebutkan takhrijnya.
[19]. Al-Fahl adalah pejantan dari setiap hewan, baik itu kuda, unta atau pun domba dan yang dimaksud dengan ‘asbul fahl adalah harga sperma pejantan, dan juga dikatakan upah mengawini.
[20]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 939)], Shahiih al-Bukhari (IV/461, no. 2284), Sunan Abi Dawud (IX/296, no. 3412), Sunan at-Tirmidzi (II/372, no. 1291)
[21]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1292)], Sunan Ibni Majah (II/737, no. 2187), Sunan at-Tirmidzi (III/350, no. 1250), Sunan Abi Dawud (IX/401, no. 3486).
[22]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1160, no. 1525 (30)), dan lafazh ini mi-liknya, Shahiih al-Bukhari (IV/349, no. 2135), Sunan Abi Dawud (IX/393, no. 3480), Sunan an-Nasa-i (VII/286), Sunan at-Tirmidzi (II/379, no. 1309)
[23]. Mutttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1160, 1525 (31)) dan lafazh ini milik-nya, Shahiih al-Bukhari (IV/347, no. 2132), Sunan Abi Dawud (IX/392, no. 3479).
[24]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/373, no. 2165), Shahiih Muslim (III/ 1154, no. 1412), Sunan Ibni Majah (II/333, no. 1271).
[25]. Shahih: [Irwaaul Ghaliil (no. 1298)], Shahiih Muslim (III/1154, no. 1515).
• Kiasan dari sibuknya mereka dalam pertanian pada saat diwajibkannya ji-had. Lihat ‘Aunul Ma’bud.-pent.
[26]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 423)], Sunan Abi Dawud (IX/335, no. 3445)
[27]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6116)], Sunan Abi Dawud (no. 3444), untuk lebih rinci lagi periksalah as-Silsilah ash-Shahiihah oleh Syaikh al-Albani (no. 2326). Demikian pula risalah asy-Syaikh ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq: “Al-Qaulul Fashl fii Ba’il Ajal.”
[28]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/417, no. 2226), Shahiih Muslim (III/ 1206, no. 1580), Sunan Abi Dawud (IX/380, no. 3473), Sunan an-Nasa-i (VII/ 308)
[29]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/424, no. 2236), Shahiih Muslim (III/ 1207, no. 1581), Sunan at-Tirmidzi (II/281, no. 1315), Sunan Abi Dawud (IX/ 377, no. 3469), Sunan Ibni Majah (II/737, no. 2167), Sunan an-Nasa-i (VII/309).
[30] Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/426, no. 2237), Shahiih Muslim (III/ 1198, no. 1567), Sunan Abi Dawud (IX/374, no. 3464), Sunan at-Tirmidzi (II/ 372, no. 1293), Sunan Ibni Majah (II/370, no. 2159), Sunan an-Nasa-i (VII/309).
[31]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/416, no. 2225) dan ini lafazh beliau, Shahiih Muslim (III/1670, no. 2110), Sunan an-Nasa-i (VIII/215) secara ringkas.
[32]. Shahih: [Shahih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6928)], Shahiih al-Bukhari (IV/397, no. 2197)
[33]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/398, no. 2198) dan lafazh ini milik beliau, Shahiih Muslim (III/1190, no. 1555), Sunan an-Nasa-i (VII/264)
[34]. Maksudnya sehingga bijinya mengeras, inilah yang dimaksud dengan budu-wus shalah dan aman dari ‘ahah yaitu (aman) dari hama yang menyerang pertanian, buah, dan yang sejenisnya hingga dapat merusaknya.
[35]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 917)], Shahiih Muslim (III/1165, no. 1535), Sunan Abi Dawud (IX/222, no. 3352), Sunan at-Tirmidzi (II/348, no. 1245), Sunan an-Nasa-i (VII/270)

Artikel: http://almanhaj.or.id

Artikrl tertkait:

Khiyar (Memilih)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Definisi Khiyar
Khiyar yaitu mencari dua pilihan yang terbaik antara imdha (melanjutkan transaksi) atau ilgha (membatalkan transaksi).

Macam-Macam Khiyar
1. Khiyar Majelis
Khiyar ini terjadi bagi penjual dan pembeli sejak dilakukannya akad hingga keduanya berpisah, selama mereka tidak berjual beli dengan syarat tidak ada khiyar atau mereka menggugurkan khiyar tersebut setelah akad atau salah satu dari mereka (baik pen-jual atau pembeli) ada yang menggugurkan hak khiyarnya, maka gugurlah haknya namun bagi pihak lain (yang tidak menggugur-kannya) maka hak khiyarnya masih tetap ada.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ.

“Jika dua orang saling berjual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain, maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut sungguh telah (terjadi) jual beli, dan bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak mening-galkan jual beli maka telah terjadi jual beli.” [1]

Haram Berpisah Dari Majelis Karena Takut Membatalkan Transaksi
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ.

“Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama keduanya belum berpisah kecuali bila telah disepakati untuk memperpanjang khiyar hingga setelah berpisah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya.” [2]

2. Khiyar Syart
Yaitu penjual dan pembeli atau salah satu dari mereka memberikan syarat khiyar sampai batas waktu yang jelas. Khiyar seperti ini sah walaupun waktunya lama.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الْمُتَبَايِعَيْنِ بِالْخِيَارِ فِي بَيْعِهِمَا مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَكُونُ الْبَيْعُ خِيَارًا.

“Sesungguhnya penjual dan pembeli memiliki khiyar dalam jual beli keduanya selama belum berpisah atau (bila) jual beli tersebut ada khiyar padanya.” [3]

3. Khiyar ‘Aib
Larangan menyembunyikan aib telah lewat (pembahasannya), maka apabila seseorang membeli barang yang cacat sementara ia tidak mengetahui cacatnya hingga keduanya berpisah, ia boleh mengembalikan barang tersebut kepada penjualnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اشْتَرَى غَنَمًا مُصَرَّاةً فَاحْتَلَبَهَا فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا فَفِي حَلْبَتِهَا صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ.

“Barangsiapa yang membeli kambing musharrah [4], kemudian ia memerahnya, maka jika ridha ia menahannya (tidak mengembalikannya), namun jika ia membencinya maka pada susu yang sudah diperah ia ganti dengan satu sha’ kurma.” [5]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ تُصَرُّوا اْلإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنِ اشْتَرَى مُصَرَّاةً فَهُوَ بِأَحَدِ النَّظَرَيْنِ إِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَرَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ.

“Janganlah kalian membiarkan susu unta dan kambing (dengan tidak memerahnya ketika akan menjual), maka barangsiapa yang membelinya setelah itu, ia memiliki dua pilihan setelah memerahnya, jika mau maka ia memilikinya dan jika mau ia juga boleh mengembalikannya beserta satu sha’ kurma.” [6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/332, no. 2112), Shahiih Muslim (III/ 1163, no. 1531 (44)), Sunan an-Nasa-i (VII/249).
[2]. Shahih: Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 2895), Sunan Abi Dawud (IX/324, no. 3439), Sunan at-Tirmidzi (II/360, no. 1265), Sunan an-Nasa-i (VII/251).
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/326, no. 2107), Shahiih Muslim (III/ 1163, no. 1531), Sunan an-Nasa-i (VII/248)
[4]. Kambing musharrah adalah kambing yang susunya tidak diperah agar kan-tung susunya terlihat besar dan penuh untuk menarik pembeli, demikian pula halnya dengan unta dan sapi.-penj.
[5]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/368, no. 2151) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (III/1158, no. 1524), Sunan Abi Dawud (IX/312, no. 2428), Sunan an-Nasa-i (VII/253).
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7347)], Shahiih al-Bukhari (IV/361, no. 2148), Sunan Abi Dawud (IX/310, no. 3426) dengan tambahan di awal-nya, demikian pula an-Nasa-i (VII/253). Dan sabda beliau: “Janganlah kamu mengikat susu unta dan kambing,” artinya janganlah kamu membiarkan susu dalam kantungnya ketika akan menjualnya hingga kantungnya membesar, sehingga pembeli mengira bahwa banyaknya susu tersebut adalah kebiasaan-nya yang terus menerus.

Artikel: http://almanhaj.or.id

Artikrl tertkait:

R i b a

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Definisi Riba
Ar-Riba -isim maqshur- diambil dari kata rabaa - yarbuu, se-hingga ditulis dengan alif ar-ribaa ( اَلرِّبَا ).

Ar-riba asal maknanya adalah az-ziyadah (pertambahan) baik pada dzat sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ

“…Hiduplah bumi itu dan suburlah...” [Al-Hajj: 5]

Dan bisa juga (pertambahan itu) terjadi pada pertukaran seperti satu dirham dengan dua dirham.

Hukum Riba
Riba hukumnya haram menurut al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [Al-Baqarah: 278-279]

Allah berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” [Al-Baqarah: 275]

Allah juga berfirman:

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” [Al-Baqarah: 276] [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِِ.

“Jauhilah oleh kalian tujuh (perkara) yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menu-duh wanita yang suci bersih lagi beriman (dengan perzinaan).” [2]

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ j آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, pencatatnya dan dua saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” [3]

Dan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a'nhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ.

“Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa), dan yang paling ringan (dosa)nya adalah bagaikan seseorang yang menikahi ibunya.” [4]

Dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً.

“Satu dirham (harta) riba yang dimakan seseorang yang ia mengetahui (bahwa itu riba) adalah lebih dahsyat daripada tiga puluh enam zina.” [5]

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ.

“Tidaklah seseorang memperbanyak (memakan) riba kecuali akibat dari perbuatannya adalah (hartanya akan menjadi) sedikit.” [6]

Macam-Macam Riba
Riba ada dua macam: Riba nasi’ah dan Riba fadhl.

Adapun riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh si pemberi hutang (ad-da-in) dari si penghutang (al-madiin) sebagai imbalan atas tempo (yang diberikan).

Riba jenis ini haram dengan (dalil) al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.

Adapun riba fadhl adalah jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan ada tambahannya.

Riba jenis ini haram dengan dalil as-Sunnah dan ijma’ karena ia merupakan wasilah kepada riba nasi’ah.

Jenis-Jenis Yang Diharamkan Riba Padanya
Riba tidak terjadi kecuali pada al-ashnafus sittah (enam jenis) yang disebutkan dalam hadits.

Dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.

‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah dijual) dengan timbangan yang sama, persis dan langsung diserah terimakan (kontan). (Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asal ada serah terima.’” [7]

Apabila enam jenis ini dijual dengan yang sejenisnya seperti emas dengan emas atau kurma dengan kurma, maka haram dilakukan dengan tafadhul (saling dilebihkan) dan haram pula dilakukan dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), dan harus ada persamaan dalam timbangan atau takaran dan tidak perlu melihat kepada (kualitas) baik dan buruknya, serta harus ada taqabudh (serah terima) di majelis tersebut.

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوا بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ولاَ تَشِفُّوْا بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

“Janganlah engkau menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya. Janganlah engkau menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya dan janganlah engkau menjual barang yang ghaib (tidak ada di majelis) dengan barang-barang yang hadir (di majelis).” [8]

Dari ‘Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ.

“Emas dengan emas riba kecuali jika langsung serah terima, gandum dengan gandum riba kecuali jika langsung serah terima dan sya’ir dengan sya’ir riba kecuali jika langsung serah terima dan kurma dengan kurma riba kecuali jika langsung serah terima.” [9]

Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

لاَ صَاعَيْ تَمْرٍ بِصَاعٍ وَلاَ صَاعَيْ حِنْطَةٍ بِصَاعٍ وَلاَ دِرْهَمَ بِدِرْهَمَيْنِ.

“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’ gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [10]

Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis yang lain seperti emas (dijual) dengan perak atau gandum dengan sya’ir maka boleh tafadhul dengan syarat harus diserahterimakan di majelis karena sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang telah disebutkan: “(Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asalkan ada serah terima.”

Dan juga karena sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:

وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ، وَالْفِضَّةُ أَكْثَرُهُمَا, يَدًا بِيَدٍ, أَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ, وَلاَ بَأْسَ بِبَيْعِ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ، وَالشَّعِيْرُ أَكْثَرُهُمَا يَدًا بِيَدٍ، وَأَمَّا نَسِيْئَةُ فَلاَ.

“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila) langsung serah terima adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah terima, adapun dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [11]

Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis dan ‘illat (sebab) yang menyelisihinya, seperti emas dengan gandum dan perak dengan garam, maka boleh tafadhul dan juga nasi’ah.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ.

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan (pembayaran) tempo, dan beliau menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [12]

Al-Amir ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/38), “Ketahuilah bahwa ulama telah sepakat atas bolehnya menjual barang riba dengan barang riba lain yang tidak sama jenisnya dengan cara ditangguhkan dan saling dilebihkan, seperti menjual emas dengan gandum, perak dengan sya’ir dan yang lainnya dari barang-barang yang ditakar.” (Selesai).

Juga tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering kecuali bagi ahlul ‘araya, mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki pohon kurma, maka mereka boleh membeli ruthab dari pemilik pohon kurma yang mereka makan dari pohonnya dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu) menjual kurma basah dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual anggur basah dengan anggur kering dengan takaran.” [13]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ أَنْ يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا مِنْ التَّمْرِ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi pemilik ariyah (pemilik pohon kurma) untuk menjual kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).” [14]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah melarang menjual ruthab dengan tamr lanaran ruthab apabila mengering akan berkurang takarannya, se-bagaimana disebutkan dari Sa’id bin Abi Waqqash.

Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ j سُئِلَ عَنْ بَيْعِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ فَقَالَ أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ قَالُوْا: نَعَمْ فَنَهَى عَنْ ذلِكَ.

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan tamr, maka beliau menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau melarangnya.” [15]
.
Juga tidak boleh menjual barang ribawi dengan yang sejenisnya, sedangakan bersama keduanya atau bersama salah satunya jenis yang lain.

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Aku membeli kalung pada hari Khaibar seharga dua belas dinar, pada kalung tersebut ada emas dan mutiara. Lalu aku melepas mutiaranya. Tiba-tiba aku menemukan padanya lebih dari dua belas dinar. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ.

‘Jangan engkau jual sehingga engkau pisahkan (emas dengan mutiara).’” [16]


[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. (Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia akan memusnah-kan riba, yakni Dia akan menghilangkannya baik secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau (dengan cara) menghalanginya dari berkah hartanya sehingga ia tidak bisa mengambil manfaat darinya bahkan Dia menghilangkannya ketika di dunia dan pada hari Kiamat akan mengadzabnya.
[2]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/393, no. 2766), Shahiih Muslim (I/92, no. 89), Sunan Abi Dawud (VIII/77, no. 2857), Sunan an-Nasa-i (VII/257).
[3]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 955), Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 509)], Shahiih Muslim (III/1219, no. 1598).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3539)], Mustadrak al-Hakim (II/37).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3375)], Ahmad (Fat-hur Rabbaani, XV/69, no. 230).
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (5518)], Sunan Ibni Majah (II/765, no. 2279)
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 949)], Shahiih Muslim (III/1211, no. 1587 (81))
[8]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/379, no. 2177), Shahiih Muslim (III/ 1208, no. 1584), Sunan an-Nasa-i (VII/278), Sunan at-Tirmidzi (II/355, no. 1259) dengan lafazh yang seperti ini.
[9]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/347, no. 2134) dan ini adalah lafazh-nya, Shahiih Muslim (III/1209, no. 1586), Sunan at-Tirmidzi (II/357, no. 1261), Sunan an-Nasa-i (VII/273) dan pada riwayat mereka, lafazh yang pertama adalah: “Emas dengan perak.” Sunan Abi Dawud (IX/197, no. 3332) dengan dua lafazh.
[10]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1216, no. 1595) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (IV/311, no. 2080) secara ringkas dan Sunan an-Nasa-i (VII/272)
[11]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/195)], Sunan Abi Dawud (IX/198, no. 3333).
[12]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1393)], Shahiih al-Bukhari (IV/399, no. 2200).
[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IV/384, no. 2185), Shahiih Muslim (III/ 1171, no. 1542) Sunan an-Nasa-i (VII/266)
[14]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1169, no. 1539 (60)) dan ini adalah la-fazhnya, juga diriwayatkan dengan lafazh sejenis dalam Shahiih al-Bukhari (IV/390, no. 2192), Sunan Abi Dawud (IX/216, no. 3346), Sunan an-Nasa-i (VII/267), Sunan at-Tirmidzi (II/383, no. 1218), Sunan Ibni Majah (II/762, no. 2269). Dan definisi ‘Ariyah yaitu memberikan buah kurma tanpa po-honnya. Di musim kemarau, bangsa Arab (biasanya), orang yang memiliki pohon kurma bersedekah kepada orang yang tidak memiliki buahnya sebagaimana orang yang memiliki kambing atau unta bersedekah dengan manihah (yaitu) memberikan susu tanpa memberikan hewannya. Dan telah diperselisihkan tentang apakah yang dimaksud dengannya secara syara’. Imam Malik berkata, “'Ariyah adalah seseorang memberikan pohon kurma kepada orang lain, kemudian ia merasa terganggu dengan masuknya ia (ke kebunnya), maka ia diberi rukhsah untuk membelinya darinya dengan tamr.” Yazid berkata dari Sufyan bin Husain, “'Araya adalah pohon kurma yang dihibahkan kepada orang-orang miskin dan mereka tidak sanggup untuk menunggunya, maka diberikan rukhsah bagi mereka untuk menjualnya dengan apa yang mereka kehendaki dari tamr.” (Selesai). Lihat Fat-hul Baarii (IV/390).
[15]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1352)], Sunan Abi Dawud (IX/211, no. 3343), Sunan Ibni Majah (II/761, no. 2264), Sunan an-Nasa-i (VII/269), Sunan at-Tirmidzi (II/348, no. 1243).
[16]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1356)], Shahiih Muslim (III/1213, no. 1591 (90)), Sunan at-Tirmidzi (II/363, no. 1273), (IX/202, no. 3336), Sunan an-Nasa-i (VII/279).

Artikel: http://almanhaj.or.id

Artikrl tertkait:

Musaqah, Ihyaa-ul Mawaat

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


Definisi Musaqah
Al-Musaqah yaitu menyerahkan pohon tertentu (seperti kurma-pent.) kepada orang yang akan mengurusinya (dengan imbalan) ia mendapatkan bagian tertentu (pula) dari buahnya, seperti se-tengah atau sejenisnya.

Pensyari’atan Musaqah
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut.” [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:

قَالَتِ َاْلأَنْصَارُ لِلنَّبِيِّ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِمْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا النَّخِيلَ قَالَ لاَ فَقَالُوا تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنَشْرَكْكُمْ فِي الثَّمَرَةِ قَالُوا: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا.

“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.’” [2]


IHYAA-UL MAWAAT (MENGGARAP TANAH YANG TIDAK ADA PEMILIKNYA)


Definisi Ihyaa-ul Mawaat
Al-Mawaat -dengan difat-hah mim dan wau yang ringan- yaitu tanah yang belum dimakmurkan (dibangun). Pemakmurannya diserupakan dengan kehidupan dan menganggurkannya (diserupakan) dengan hilangnya kehidupan. Dan yang disebut dengan ihyaa-ul mawaat adalah seseorang pergi ke suatu tanah yang tidak diketahui ada seseorang yang telah memilikinya, kemudian ia menghidupkannya dengan menyiraminya, bertani, menanami dan membangunnya sehingga dengan demikian tanah tersebut menjadi miliknya. [3]

Seruan Islam Kepadanya
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ ِلأَحَدٍ فَهُوَ لَهُ.

“Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang bukan milik siapa pun, maka tanah itu menjadi miliknya.” [4]

‘Urwah berkata, “Demikianlah yang diputuskan oleh ‘Umar pada masa khilafahnya.”

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ.

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah tersebut menjadi haknya” [5]

Darinya juga, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ.

“Barangsiapa membangun tembok di atas suatu tanah (yang tidak ada pemiliknya), maka ia menjadi miliknya.” [6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Telah disebutkan takhrijnya.
[2]. Muttafaq ‘alaih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1471)], Shahiih al-Bukhari (V/8, no. 2325)
[3]. Fat-hul Baari (V/18)
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6057)], Shahiih al-Bukhari (V/18, no. 2335)
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5975)], Sunan at-Tirmidzi (II/419, no. 1395)
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5952)], Sunan Abi Dawud (VIII/330, no. 3061)

Artikel: http://almanhaj.or.id

Artikrl tertkait:

Sabtu, 26 November 2011

Fakta Thibbun Nabawi: Habbatus Sauda, Madu, dan Minyak Zaitun

Penyusun: Ummu Hajar

Saudariku, tahukah kalian bahwa penyakit itu ada dua macam, penyakit hati dan penyakit jasmani? Kedua penyakit itu disebutkan dalam Al-Qur’an. Klasifikasi jenis penyakit ini mengandung hikmah ilahi dan kemukjizatan yang hanya bisa dicapai oleh kalangan medis di pertengahan abad ke-18. Sesungguhnya iman kepada Allah dan para Rasul, yaitu aqidah yang tertanam dalam hati, merupakan solusi pengobatan yang terpenting bagi hati, yakni bagi penyakit jiwa. Sedangkan untuk penyakit jasmani, kita bisa menengok metode pengobatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Istilah Thibbun Nabawi dimunculkan oleh para dokter muslim sekitar abad ke-13 M untuk menunjukkan ilmu-ilmu kedokteran yang berada dalam bingkai keimanan pada Allah, sehingga terjaga dari kesyirikan, takhayul dan khurofat.

1. Habbatus Sauda’ atau Jinten Hitam atau Syuwainiz

Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. bahwa ia pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Sungguh dalam habbatus sauda’ itu terdapat penyembuh segala penyakit, kecuali as-sam.” Saya bertanya, “Apakah as-sam itu?” Beliau menjawab, “Kematian”. Habbatus sauda’ berkhasiat mengobati segala jenis penyakit dingin, bisa juga membantu kesembuhan berbagai penyakit panas karena faktor temporal. Biji habbatus sauda’ mengandung 40% minyak takasiri dan 1,4% minyak atsiri, 15 jenis asam amino, protein, Ca, Fe, Na dan K. kandungan aktifnya thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY). Telah terbukti dari berbagai hasil penelitian ilmiah bahwa habbatus sauda’ mengaktifkan kekebalan spesifik/kekebalan didapat, karena ia meningkatkan kadar sel-sel T pembantu, sel-sel T penekan, dan sel-sel pembunuh alami. Beberapa resep penggunaan dan manfaat habbatus sauda’:

  1. Ditumbuk, dibuat adonan dangan campuran madu, kemudian diminum setelah dicampur air panas, diminum rutin berhari-hari: menghancurkan batu ginjal dan batu kandung kencing, memperlancar air seni, haid dan ASI.
  2. Diadon dengan air tepung basah atau tepung yang sudah dimasak, mampu mengeluarkan cacing dengan lebih kuat.
  3. Minum minyaknya kira-kira sesendok dicampur air untuk menghilangkan sesak napas dan sejenisnya.
  4. Dimasak dengan cuka dan dipakai berkumur-kumur untuk mengobati sakit gigi karena kedinginan.
  5. Digunakan sebagai pembalut dicampur cuka untuk mengatasi jerawat dan kudis bernanah.
  6. Ditumbuk halus, setiap hari dibalurkan ke luka gigitan anjing gila sebagian dua atau tiga kali oles, lalu dibersihkan dengan air.

Untuk konsumsi rutin menjaga kesehatan, sebaiknya dua sendok saja. Sebagian kalangan medis menyatakan bahwa terlalu banyak mengkonsumsinya bisa mematikan.

2. Madu atau ‘Asl

“Dari perut lebah itu keluar cairan dengan berbagai warna, di dalamnya terdapat kesembuhan bagi manusia.” (QS. An-Nahl: 69)

Beberapa hasil penelitian tentang madu:

a. Bakteri tidak mampu melawan madu

Dianjurkan memakai madu untuk mengobati luka bakar. Madu memiliki spesifikasi anti proses peradangan (inflammatory activity anti)

b. Madu kaya kandungan antioksidan

Antioksidan fenolat dalam madu memiliki daya aktif tinggi serta bisa meningkatkan perlawanan tubuh terhadap tekanan oksidasi (oxidative stress)

c. Madu dan kesehatan mulut

Bila digunakan untuk bersikat gigi bisa memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi, mengobati sariawan dan gangguan mulut lain.

d. Madu dan kulit kepala

Dengan menggunakan cairan madu berkadar 90% (madu dicampur air hangat) dua hari sekali di bagian-bagian yang terinfeksi di kepala dan wajah diurut pelan-pelan selama 2-3 menit, madu dapat membunuh kutu, menghilangkan ketombe, memanjangkan rambut, memperindah dan melembutkannya serta menyembuhkan penyakit kulit kepala.

e. Madu dan pengobatan kencing manis

Madu mampu menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes karena adanya unsure antioksidan yang menjadikan asimilasi gula lebih mudah di dalam darah sehingga kadar gula tersebut tidak terlihat tinggi. Madu nutrisi kaya vitamin B1, B5, dan C dimana para penderita diabetes sangat membutuhkan vitamin-vitamin ini. Sesendok kecil madu alami murni akan menambah cepat dan besar kandungan gula dalam darah, sehingga akan menstimulasi sel-sel pankreas untuk memproduksi insulin. Sebaiknya penderita diabetes melakukan analisis darah dahulu untuk menentukan takaran yang diperbolehkan untuknya di bawah pengawasan dokter.

f. Madu mencegah terjadinya radang usus besar (colitis), maag dan tukak lambung

Madu berperan baik melindungi kolon dari luka-luka yang biasa ditimbulkan oleh asam asetat dan membantu pengobatan infeksi lambung (maag). Pada kadar 20% madu mampu melemahkan bakteri pylori penyebab tukak lambung di piring percobaan.

g. Selain itu madu amat bergizi, melembutkan sistem alami tubuh, menghilangkan rasa obat yang tidak enak, membersihkan liver, memperlancar buang air kecil, cocok untuk mengobati batuk berdahak. Buah-buahan yang direndam dalam madu bisa bertahan sampai enam bulan.

Madu terbaik adalah yang paling jernih, putih dan tidak tajam serta yang paling manis. Madu yang diambil dari daerah gunung dan pepohonan liar memiliki keutamaan tersendiri daripada yang diambil dari sarang biasa, dan itu tergantung pada tempat para lebah berburu makanannya.

3. Minyak Zaitun

“Konsumsilah minyak zaitun dan gunakan sebagai minyak rambut, karena minyak zaitun dibuat dari pohon yang penuh berkah.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Fungsi minyak zaitun:

  1. Mengurangi kolesterol berbahaya tanpa mengurangi kandungan kolesterol yang bermanfaat.
  2. Mengurangi risiko penyumbatan (trombosis) dan penebalan (ateriosklerosis) pembuluh darah.
  3. Mengurangi pemakaian obat-obatan penurun tekanan darah tinggi.
  4. Mengurangi serangan kanker.
  5. Melindungi dari serangan kanker payudara. Sesendok makan minyak zaitun setiap hari mengurangi risiko kanker payudara sampai pada kadar 45%.
  6. Menurunkan risiko kanker rahim sampai 26%.
  7. Pengkonsumsian buah-buahan, sayuran, dan minyak zaitun memiliki peran penting dalam melindungi tubuh dari kanker kolon.
  8. Penggunaan minyak zaitun sebagai krim kulit setelah berenang melindungi terjadinya kanker kulit (melanoma)
  9. Berpengaruh positif melindungi tubuh dari kanker lambung dan mengurangi risiko tukak lambung.
  10. Mengandung lemak terbaik yang seharusnya dikonsumsi manusia seperti yang terdapat dalam ASI.
  11. Penggunaan sebagai minyak rambut mampu membunuh kutu dalam waktu beberapa jam saja.

Setiap penyakit itu ada obatnya, seperti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia menurunkan obatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Setiap kali Allah menurunkan penyakit, Allah pasti menurunkan penyembuhnya. Hanya ada orang yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya. Jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang pesat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengetahui dan menerapkan pengobatan yang terbukti kemanjurannya.

Maraji:

  1. Keajaiban Thibbun Nabawi, Aiman bin ‘Abdul Fattah
  2. Metode Pengobatan Nabi SAW, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

***

Artikel www.muslimah.or.id

Hukum Menghiasi Masjid Ketika Hari Raya

Pertanyaan:
Pada saat hari raya Idul Fitri dan pada hari besar lainnya, di beberapa tempat terdapat kebiasaan menghiasi masjid dengan berbagai macam bentuk dan warna lampu, serta bunga. Apakah hal ini diperbolehkan oleh Islam, ataukah tidak? Manakah dalil yang memperbolehkan atau dalil yang melarang?

Jawaban:
Masjid merupakan baitullah (rumah Allah), tempat yang paling baik. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan agar kaum muslimin menghargai dan mengagungkan masjid dengan dzikrullah (berdzikir kepada Allah), mendirikan shalat, mengajarkan berbagai masalah agama pada manusia, membimbing mereka menuju kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat. Juga dengan cara membersihkannya dari najis, patung, berbagai perbuatan syirik, bid’ah dan khurafat (menyimpang) dan menjaga masjid dari kotoran.

Termasuk mengagungkan masjid yaitu dengan memeliharanya dari permainan sia-sia dan teriakan-teriakan. Meskipun untuk mencari barang hilang atau yang semisalnya, yang bisa menimbulkan kesan masjid seperti jalan umum atau pasar. Termasuk menghargai masjid yaitu dengan melarang penguburan mayit di dalamnya, juga dilarang membangun masjid di atas kuburan.

Menjaga masjid, juga dengan tidak menggantungkan lukisan ataupun melukis atau yang lainnya di tembok yang bisa menjadi jalan mengantarkan pada kesyirikan, atau yang dapat mengganggu konsentrasi orang beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta bertolak belakang dengan motivasi utama pembangunan masjid.
Semua masalah di atas sudah dijaga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dalam sirah (kisah perjalanan hidup) dan dalam amaliyah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah telah menerangkan hal ini kepada umatnya, agar umatnya bisa meniti jalan yang pernah mereka tempuh, dan menjadikan petunjuk mereka sebagai pedoman dalam menghormati dan memakmurkan masjid dengan segala hal yang bisa mengangkat nilai masjid, yaitu tegaknya syariah Allah dan untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Belum ada riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengagungkan masjid dengan memberikan penerangan warna-warni dan meletakkan karangan bunga pada saat hari raya ataupun pada saat momen tertentu. Cara pengagungan dengan memberikan lampu warna-warni, tidak dikenal pada masa Khulafaur Rasyidin serta para imam dari generasi pertama yang dijadikan panutan yaitu (generasi yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, bahwa mereka merupakan generasi terbaik) padahal pada masa itu masyarakat sudah mengalami kemajuan, memiliki banyak harta, berbudaya tinggi, dan berbagai macam bentuk serta warna perhiasan bisa didapatkan. Dan kebaikan terbaik adalah terletak pada ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, petunjuk Khulafaur Rasyidin, serta para ulama yang meniti jalan mereka.

Kemudian menyalakan lilin di masjid, memasang berbagai lampu listrik di atas atau di sekitar, memasang bendera bendera di menara, serta meletakkan karangan bunga pada hari raya atau momen tertentu dengan maksud menghiasi dan mengagungkan masjid, merupakan perbuatan tasyabbuh (meniru) pada perbuatan yang dilakukan orang-orang kafir terhadap tempat ibadah mereka. Padahal Nabi shallallahu ’alahi wasallam telah melarang tasyabbuh pada hari-hari raya dan cara ibadah mereka.

Wabillahit taufiq wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin wa ‘alaihi wa shahbihi wa sallam.

Lajnatu Ad Da-imatu Lil Buhuts Al Ilmiyati wal Ifta’: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (Ketua), Syaikh Abdurrazaq Al Afifi (Wakil Ketua), Syaikh Abdullah bin Qu’ud (Anggota).

(Fatawa Ramadhan Fi Ash Shiyam wa Al Qiyam wa Al Itikaf wa Zakat Al Fithri, II/949-950)

Diketik ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus Tahun.IX/1426 H/2005 M


Artikel Terkait:

Hukum Bulan Madu

Terkait masalah bulan madu yang banyak tersebar di eropa, terkadang disertai dengan keyakinan yang aneh-aneh dari doktri agamanya. Apakah jika ada sebagian kaum muslimin yang melakukannya, termasuk bentuk meniru kebiasaan orang barat, meskipun hanya melakukan perjalanan di negeri islam?

Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik bagi anda..

Jawaban Syaikh Abdurrahman as-Suhaim:

Dalam masalah ini perlu dirinci.

Pertama, jika fenomena tersebut merupakan bagian dari perkara ibadah orang kafir, baik menurut yahudi maupun nasrani maka tidak boleh diamalkan sama sekali, apapun keadaannya, kecuali jika perkara tersebut juga ditetapkan dalam syariat kita, berdasarkan al-Quran dan sunnah, sehingga menjadi bagian dari ajaran semua syariat. Seperti masalah hukuman had (hukuman tindak kriminal) atau menutup aurat atau yang lainnya.

Kedua, fenomena yang merupakan perkara dunia. Untuk yang kedua ini bisa dirinci sebagai berikut:

a. Jika diiringi dengan keyakinan tertentu maka tidak boleh ditiru, seperti: cincin tunangan.

b. Tidak diiringi keyakinan tertentu dan sudah tersebar di tengah masyarakat islam, sehingga orang islam yang melakukannya menyadari bahwa kegiatan ini hanya semata adat masyarakat di negerinya. Untuk kasus kedua ini, saya berharap tidak mengapa dilakukan.

Termasuk dalam jenis yang kedua ini adalah kebiasaan yang dikenal dengan ‘bulan madu’. Hanya saja tidak selayaknya terlalu terikat dengan penamaan ini dan batasan waktu tertentu. Karena kehidupan seorang muslim, jika dibangun di atas prinsip al-Quran dan sunnah maka semuanya adalah kehidupan yang indah dan menyenangkan.

Selanjutnya untuk masalah safar, pada asalnya hukumnya adalah mubah. Karena itu, boleh bagi suami untuk melakukan safar bersama istrinya, terutama ketika masa pengantin baru. Karena kegiatan ini akan semakin mengikat rasa cinta dan kasih sayang.

Akan tetapi tidak boleh safar ke negeri kafir atau ke tempat-tempat yang banyak digunakan untuk maksiat. Karena para ulama telah menegaskan bahwa wali berhak melarang orang yang menjadi tanggungannya untuk pergi ke tempat-tempat campur baur laki-laki perempuan.

Syaikh Abdurrahman as-Suhaim merupakan seorang dai dari Kementrian Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Masyarakat Kerajaan Arab Saudi.

Disadur dari: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=138993

Allahu a’lam

***
muslimah.or.id
Diterjemahkan Oleh Ustadz Ammi Nur Baits


Artikel Terkait:

Hukum Seputar Darah Wanita: Istihadlah

Penulis: Ummu Muhammad
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar

Definisi Istihadlah

Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji’ (vagina)-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan sebagai darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullaah dalam penjelasaannya terhadap Shahih Muslim mengatakan: “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17, Fathul Bari 1/511)

Al Imam Al Qurthubi rahimahullaah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57).

Syaikh Al Utsaimin rahimahullaah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, ia berkata: “Fathimah bintu Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci…’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain: ‘Aku istihadlah tidak pernah suci… .’

Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya: “Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya). (Terj. Risalah fid Dima’, hal. 40)

Antara Darah Haid dan Darah Istihadlah

Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallaahu ‘anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata, “Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”

Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah, “Yang demikian itu hanyalah darah dari urat, bukan haid.”

Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, yaitu yang pasti dialami oleh setiap wanita normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatan setan yang ingin menimbulkan keraguan pada anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159): “Makna sabda Nabi: (’Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah setan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga setan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.” Al Imam As Shan’ani melanjutkan: “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)

Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit. Sehingga menurut Ibnu Taimiyyah, keduanya harus dibedakan. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).

Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) serta keluar dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:

  1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
  2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
  3. Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.
  4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.

Keadaan Wanita yang Istihadlah

Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan:

Pertama: Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.

Misalnya: Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang kau biasa haid, kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari)

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin, “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)

Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak perlu mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan wanita yang suci.

Keadaan kedua: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu (mubtada’ah) sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah (mumayyizah). Maka untuk membedakan sifat darah haid dan darah istihadlah menggunakan cara tamyiz (pembedaan sifat darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam, kental dan beraroma tidak sedap. Bila dia dapatkan demikian, maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullaah)

Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Mereka berdalil dengan hadits Fathimah bintu Abu Hubaisy di atas. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya. Pendapat inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.

Keadaan ketiga: Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula dapat membedakan darahnya. Darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya sama atau tidak jelas perbedaannya. Maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Selebihnya berarti istihadlah.

Misalnya: seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis.

Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha dimana beliau mengalami istihadlah yang banyak dan deras, maka beliau meminta fatwa pada Nabi Shallallaahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Menurut Ahmad dan Tirmidzi hadits shohih, sedang menurut Imam Bukhoriy, hadits hasan)

Kata Al Imam As Shan’ani: “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159)

Wanita yang memiliki keadaan seperti ini, ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila kebiasaan haidnya enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila kebiasaan haidnya tujuh hari. Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun dengan melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dan berdekatan umur dengannya. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits: ((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, -pent). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya para wanita memiliki salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh). Di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita (yang meiliki kebiasaan seperti itu) mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan (rahim) dengannya.” (Subulus Salam hal. 160)

Para ahli fikih berkata: “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat (kebiasaan) yang tetap dan pasti, maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa ulama Salaf, halaman 54)

Apabila kebiasaan wanita yang seumur dan paling dekat kekerabatan dengannya itu bukan enam atau tujuh hari (misalnya sepuluh hari), maka dia tetap harus berpedoman dengan kebiasaan wanita tersebut yaitu sepuluh hari. Allahu Ta’ala A’lam.

Kondisi keempat dan kelima: Jika wanita tersebut memliki kebiasaan haid tertentu, namun haidnya tidak teratur bilangannya (muktaribah), maka jika masih memungkinkan melakukan tamyiz, maka kondisinya disesuaikan dengan wanita dengan kondisi kedua di atas.

Kondisi keenam: Wanita yang memiliki kebiasaan, namun lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus-menerus keluar, maka ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan darahnya (mubtada-ah). Ada yang berkata: Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Majmu’ Syarhil Muhadzdzab 2/396). Yang rojih, menurut Syaikh Utsaimin dalam Syarhul Mumti’, adalah mengembalikannya pada kebiasaan wanita yang lain namun dalam hal ini lebih dipersempit. Misalnya wanita itu hanya ingat bahwa ia haid di awal bulan, namun lupa tanggal berapa. Kemudian keluar darah terus menerus. Ibu wanita tersebut memiliki haid yang teratur setiap awal bulan pada tanggal tertentu, demikian pula dengan saudara wanitanya hanya saja di akhir bulan. Maka wanita tersebut harus menetapkan tanggal haidnya sesuai tanggal haid ibunya, meski kekerabatan rahim dan umurnya lebih mendekati saudara wanitanya.

Kondisi ketujuh: Jika ia tahu bilangan/durasi haidnya dan letaknya (awal, tengah atau akhir), namun ia lupa tepatnya tanggal berapa ia haid, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian mengatakan bahwa dia harus mengambil tanggal haidnya di awal bulan (meski ia yakin biasa haid di tengah bulan). Akan tetapi, menurut Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ yang lebih mendekati pada kenyataan sebenarnya adalah mengambil tanggal pasti dari awal, tengah, atau akhir bulan. Misal wanita tersebut yakin ia haid di tengah bulan namun lupa tanggal berapa. Maka yang lebih mendekati kebenaran adalah ia menetapkan tanggal haidnya adalah tanggal 13, daripada menetapkan tanggal haidnya di awal bulan.

Hukum-Hukum Istihadlah

Hukum wanita yang istihadlah sama seperti hukum wanita yang suci kecuali pada hal berikut ini:

1. Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain (pembalut) berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah radhiyallaahu’anha: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas karena dia mampu menyerap darah’. Hamnah radhiyallaahu’anha berkata, ‘Darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,’Gunakan kain’. Hamnah berkata,’darahnya lebih banyak dari itu’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Gunakan penahan’.”

Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah: 222). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ hal. 50)

Apakah Wajib Mandi Setiap Akan Shalat?

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan: “Darah itu dari urat. Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)

Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata: “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana dinukil dari mereka oleh Al Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf.” (4/19-20)

Adapun hadits yang ada tambahan lafadz: “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.” Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq -seorang perawi hadits ini- salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh: “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221) jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)

As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah: “Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadz: “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah dalil karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya: “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” (Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh Al Albani dan lain-lain)

Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah, tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.

Apakah Wajib Wudlu Setiap Akan Shalat?

Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya: “‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan, ‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari: 228)

Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadz: “Berwudlulah” setelah lafadz: “Cucilah darah haidmu”. Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadz hadits di atas adalah: “Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)

Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan. Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya: “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang kami tinggalkan penyebutannya.”

Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl: “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah: ((“watawadl-dla’i/ berwudlulah”)). An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan: ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan: ‘Berwudlulah’ ” (Syarah Muslim 4/22)

Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di atas. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224- 226).

Kesimpulannya: Perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah yang datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh para ulama. Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat dan sudah lewat penyebutan kami tentang masalah mandi bagi wanita istihadlah ini. Walhamdulillah.

Maroji’:

  1. Darah yang Menimpa Wanita, [MUSLIMAH Rubrik Kajian Kita Edisi 37/1421 H/2001 M], Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah.
  2. Istihadlah, [MUSLIMAH Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita ]., Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyah.
  3. Risalah fi Ad Dima’ Ath Thabi’iyyah lin Nisa’ (Terj. Darah Kebiasaan Wanita), Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
  4. Darah Kebiasaan Wanita, rekaman dauroh, al Ustadz Ibnu Yunus.

***

Artikel www.muslimah.or.id


Artikel Terkait: