Jika Persaksian Hilal Ditolak dalam Sidang Itsbat

Satu kasus yang sering terjadi ketika pemutusan kapan berhari raya dan memulai puasa. Di sebagian tempat ternyata melihat hilal seperti yang sering terjadi di daerah Cakung, namun di daerah lain bahkan mayoritasnya tidak tampak. Bagaimana jika ada yang melihat hilal, apakah ia tetap boleh berpuasa atau berhari raya?.....

Kumpulan Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Qodho Puasa

1. Qodho (Mengganti) Puasa yang TertundaSoal:Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang. Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?Jawab:Wajib bagimu......

Indahnya Ramadhan Bersama Al-Qur’an

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan warna ketaatan. Selain ibadah puasa di siang hari, kaum muslimin dapat menikmati keindahan tadabbur dan tilawah al-Qur’an di malam hari. Dengan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an itulah ketenangan jiwa akan didapatkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah, bahwa dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang.....

Shalawat Para Malaikat Bagi Orang yang Makan Sahur

Oleh Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat adalah orang yang makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah: 1. Dua Imam, yaitu Imam Ibnu Hibban dan Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:....

Keberkahan Makan Sahur

Oleh Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i DEFINISI (السَّحُوْرُ), adalah dengan memfat-hahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur [1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2] Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak....

Senin, 23 Juli 2012

Ramadhan Dan Perbaikan Diri

Bulan Ramadhan… tak lama lagi menjumpai kita… Perasaan gembira dan rindu meliputi jiwa orang-orang yang beriman. Menantikan malam-malam yang khusyu’ dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an dan dzikir kepada ar-Rahman…

Pembaca yang dimuliakan Allah… Sudah menjadi tabiat dan karakter orang-orang yang beriman untuk merasa senang dengan ketaatan dan merasa sedih dengan kemaksiatan. Sebagaimana aqidah yang dipegang teguh oleh Ahlus Sunnah, bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.

Keimanan dengan segala cabangnya adalah bagian tak terpisahkan dalam hidup umat Islam. Sebaliknya, kekafiran dengan segala cabangnya adalah perusak dan pengganggu ketentraman hidup mereka. Maka kedatangan bulan Ramadhan di setiap tahun merupakan penyejuk hati dan penentram perasaan. Dengan kesejukan suasana Ramadhan, umat manusia dilatih untuk mengendalikan berbagai keinginan nafsunya. Ia ditundukkan, digembleng dan dibina dalam rangka taat dan mendahulukan kecintaan Rabbnya di atas segala-galanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)

Keimanan itulah yang menjadi syiar hidup mereka. Mereka hidup dan mati di atasnya, bergerak dan diam karenanya, ruku’ dan sujud dengannya, harap dan takut karenanya, cinta dan benci pun karenanya. Iman itulah yang menggerakkan persendian hidup mereka. Karena itulah, tatkala noda maksiat dan kotoran dosa merusak hati dan pikiran mereka, mereka pun merasa terganggu dan tidak nyaman dengannya. Mereka sangat menyadari bahwa lunturnya nilai-nilai keimanan merupakan bencana bagi kehidupan mereka, di dunia sebelum nanti di akhirat… wal ‘iyadzu billaah

Jadi tidak heran, jika sahabat Abdullah bin Mas’ud memberikan gambaran dua sikap yang sangat berlainan, antara orang yang menjaga nilai-nilai keimanan dengan orang yang telah terbuai dan terbius dengan racun-racun kekafiran. Beliau berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah sebuah gunung, dia khawatir kalau gunung itu akan runtuh menimpanya. Adapun orang yang fajir/munafik melihat dosa-dosanya seperti lalat saja, yang mampir di atas hidungnya, lantas dengan ringannya dia halau lalat tersebut -dengan tangannya-.” (HR. Bukhari)

Sehingga momentum Ramadhan dengan ibadah puasanya, adalah kesempatan emas bagi orang yang merasa memiliki dosa di hadapan Tuhannya. Karena apabila dosa-dosa itu tidak diampuni, tentulah ia akan membuahkan penyesalan, kesedihan, dan rasa takut kelak di hari pembalasan… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah ibadah agung yang dinantikan itu… Seorang mukmin, tak akan melewatkan kesempatan emas ini. Baginya, dunia seisinya tidak ada artinya dibandingkan ampunan dan rahmat Allah ta’ala. Inilah kenikmatan hakiki dan kebahagiaan yang sejati. Karena dengan puasa, seorang hamba akan berjuang untuk menjadi sosok yang bertakwa. Dan dengan ketakwaan itulah, seorang manusia akan menjadi mulia dan dicintai oleh Rabb alam semesta.

Ramadhan ada di hadapan, bekali diri kita dengan ilmu dan iman, tuk menyambut bulan yang agung, bulan yang penuh kebaikan, bulan yang menjadi penghibur hati orang-orang yang beriman. Allahul musta’aan

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Minggu, 22 Juli 2012

Jika Persaksian Hilal Ditolak dalam Sidang Itsbat

Satu kasus yang sering terjadi ketika pemutusan kapan berhari raya dan memulai puasa. Di sebagian tempat ternyata melihat hilal seperti yang sering terjadi di daerah Cakung, namun di daerah lain bahkan mayoritasnya tidak tampak. Bagaimana jika ada yang melihat hilal, apakah ia tetap boleh berpuasa atau berhari raya? Ataukah ia tidak boleh terang-terangan dalam hal tersebut?

Mengenai seseorang yang melihat hilal kemudian tertolak pendapatnya, para ulama dalam permasalahan ini ada perbedaan pendapat apakah ia boleh tetap puasa atau berhari raya. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

Pertama: Orang yang melihat hilal boleh berpuasa atau berhari raya namun secara sembunyi-sembunyi (tidak terang-terangan) agar tidak menyelisihi jama’ah kaum muslimin. Demikian pendapat Imam Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan menjadi pendapat Ibnu Hazm. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka berpuasalah” (QS. Al Baqarah: 185).

Kedua: Berpuasa dengan hasil ru’yahnya, namun berhari raya dengan mayoritas manusia. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan yang masyhur dari Imam Ahmad.

Ketiga: Tidak mengamalkan hasil pengamatan ru’yah. Maka ia berpuasa dan berhari raya bersama mayoritas manusia. Demikian pendapat Imam Ahmad dan menjadi pilihan Syaikhul Islam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berpuasa. Idul Fithri kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berhari raya Idul Fithri. Idul Adha kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berhari raya Idul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697, shahih menurut Syaikh Al Albani). Maknanya adalah puasa dan hari raya bersama al jama’ah (pemerintah).

Yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat terakhir. Karena inilah yang lebih menjaga persatuan kaum muslimin ditambah lagi masalah puasa dan berhari raya adalah permasalahan jama’i (orang banyak) sehingga kembalikanlah pada keputusan penguasa.

Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata, “Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.” Imam Ahmad juga mengatakan, “Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”. (Majmu’ Al Fatawa, 25: 117)

Namun jika orang yang melihat hilal tetap ingin berpuasa karena hasil penglihatannya, maka tetaplah sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan. Tujuannya adalah demi menjaga persatuan kaum muslimin.

Mengenai permasalahan terlihatnya hilal di Cakung, sebagaimana dikemukakan oleh ulama NU dalam sidang itsbat malam ini bahwa penglihatan hilal di Cakung mengalami beberapa masalah, di antaranya:

  1. Cakung berada di daerah gedung pencakar langit.
  2. Di posisi mana matahari tenggelam dan hilal terbit, juga tidak jelas.
  3. Yang melihat hilal dan hakim yang jadi saksi, itu-itu saja dari tahun ke tahun.
  4. Hilal yang nampak bisa jadi halusinasi karena ada dorongan dari metode hisab yang mendorong harus terlihat hilal.
  5. Alat yang digunakan tidak canggih sehingga mesti diperbaiki.

Dan masih ada beberapa alasan lain tertolaknya hilal di Cakung.

Jika setiap orang dan ormas lebih memilih persatuan daripada kepentingan kelompok, tentu perpecahan dalam penentuan puasa dan hari raya tidak akan terjadi.

Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kumpulan Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Qodho Puasa

1. Qodho (Mengganti) Puasa yang Tertunda

Soal:

Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang. Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?

Jawab:

Wajib bagimu melakukan tiga perkara:

Pertama: Taubat kepada Allah Ta’ala dari kesalahan ini (menunda-nunda qodho’ puasa) serta menyesali perbuatan ini dan bertekad untuk tidak mengulanginya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“…Dan bertaubatlah kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.”
(QS. an-Nur [24]:31)

Sedangkan menunda kewajiban ini adalah maksiat dan bertaubat kepada Allah Ta’ala adalah wajib.

Kedua: Segera berpuasa sesuai dengan yang diyakini, karena Allah tidak membebani hamba melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Karenanya, yang engkau yakini bahwasannya engkau meninggalkan hari-hari yang menjadi tanggunganmu, itulah yang engkau bayar. Apabila kamu meyakini sepuluh hari, maka hendaklah puasa sepuluh hari, dan jika engkau meyakini bahwasannya itu lebih atau kurang, maka hendaklah engkau berpuasa sesuai dengan keyakinanmu itu. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Allah tidak membebani hamba kecuali dengan kesanggupannya…” (Qs. al-Baqarah [2]:286)

dan firman Allah Ta’ala:

“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian…”
(Qs. at-Taghabun [64]:6)

Ketiga: Memberi makan seorang fakir miskin setiap harinya jikalau engkau mampu melakukannya dengan memberikan semuanya walaupun kepada satu orang miskin. Adapun jika engkau tidak mampu, maka tidak mada kewajiban apapun bagimu selain puasa dan taubat. Dan memberi makan yang wajib kepada setiap harinya ½ sha’ dari makanan pokok suatu daerah dan ukurannya 1½ kg bagi orang yang mampu.

(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz)

2. Tidak Membayar Puasa Karena Melahirkan

Soal:

35 tahun yang lalu, saya melahirkan pada bulan Ramadhan. Kemudian dua tahun berikutnya, saya melahirkan pada bulan Ramadhan juga, dan saya tidak berpuasa melainkan hanya 10 hari. Dan sekarang saya seorang wanita yang berusia lanjut dan sakit-sakitan. Apakah yang harus saya lakukan?

Jawab:

Apabila engkau telah sembuh, wajib bagimu berpuaswa pada hari yang engkau tinggalkan, baik pada Ramadhan pertama atau yang kedua disertai memberi makan kepada fakir miskin pada setiap harinya (jika engkau memang meremehkan permasalahan membayar puasa ini, padahal engkau mampu).

Adapun kewajiban memberi makan fakir miskin untuk setiap harinya ½ sha’ berupa kurma atau beras dari makanan pokok suatu daerah atau 1½ kg dengan timbangan, dengan memberikannya kepada fakir miskin baik satu ataupun dua orang ataupun keluarga fakir miskin. Itu semua cukup bagimu, disertai dengan berpuasa dan bertaubat.

Adapun jika engkau menunda qodho’ Ramadhan karena sakit tanpa disertai unsur peremehan, maka wajib bagimu membayar puasa yang engkau tinggalkan itu dan tidak ada kewajiban memberi makan fakir miskin dikarenakan engkau mendapatkan udzur syar’i, berdasarkan firman Allah:

“…Barangsiapa yang sakit atau melakukan perjalanan jauh, hendaklah mengganti pada hari-hari yang lain…” (Qs. al-Baqarah [2]:85)

3. Berpuasa Setelah Suci dari Nifas

Soal:

Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari. Kemudian (ternyata) darah itu keluar lagi. Apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa hari tersebut dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan?

Jawab:

Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum 40 hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum 40 hari, maka puasanya sah. Dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari ketika darah itu keluar lagi karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna 40 hari.

Dan jika telah mencapai 40 hari, maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena 40 hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama. Dan setelah itu, hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada wanita yang mustahadhah (mengluarkan darah istihadhah) dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah 40 hari walaupun ia masih mengeluarkan darah, karena darah dan kondisi yang demikian adalah darah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa serta tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya pada saat itu. Akan tetapi jika keluarnya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap darah haidh.

(Kitab ad Da’wah, Syaikh ibn Baz)

4. Tidak Mampu Meng-qadha Puasa

Soal:

Saya seorang wanita yang sakit. Saya tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan yang lalu dan karena sakit yang saya alami, saya tidak dapat mengqadha puasa. Apa yang harus saya laukan sebagai kaffarah-nya? Dan saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang harus saya lakukan?

Jawab:

Orang sakit yang menyebabkan sulit baginya untuk berpuasa disyariatkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kesembuhan, maka ia harus mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah [2]: 185)

Dan anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang sakit serta bagi orang sedang dalam perjalanan (musafir). Dan Allah Subhananhu wa Ta’ala suka jika rukhshah-Nya dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.”

(Fatawa ash-Shiyam)

Maraji’:

  1. Majalah Al Furqon Edisi 4 Dzul Qo’dah 1427 H
  2. Majalah Al Furqon Edisi 2 tahun V 1426 H
  3. Majalah Nikah edisi khusus, Volume 3 tahun 2004
  4. Majalah Nikah edisi kusus, Volume 4 no. 7 tahun 2005

***

Artikel: www.muslimah.or.id

Jumat, 20 Juli 2012

Indahnya Ramadhan Bersama Al-Qur’an


Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan warna ketaatan. Selain ibadah puasa di siang hari, kaum muslimin dapat menikmati keindahan tadabbur dan tilawah al-Qur’an di malam hari. Dengan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an itulah ketenangan jiwa akan didapatkan.


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah, bahwa dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan berdzikir kepada Allah dalam ayat ini adalah Kitab-Nya. Yaitu, tatkala seorang mukmin mengetahui kandungan hukum dari ayat-ayat Allah yang menunjukkan kepada kebenaran maka hatinya pun merasakan ketentraman. Sebab hatinya tidak bisa merasakan ketentraman tanpa ilmu dan keyakinan, sementara ilmu dan keyakinan itu bisa diperoleh dengan memperhatikan Kitabullah tersebut (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 418 cet. Ar-Risalah)


Membaca dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an adalah bagian dari dzikir. Sementara kedudukan dzikir bagi seorang insan laksana air bagi seekor ikan. Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Apakah yang akan terjadi jika ikan dipisahkan dengan air?” Bagaimana mungkin seorang hamba mengaku mencintai Allah, sementara hati dan lisannya kering dari mengingat dan memuji-Nya?!


Demikianlah yang telah dipraktekkan oleh salafus shalih. Mereka adalah suatu kaum yang mengagungkkan Kitabullah dengan semestinya. Mereka tidak hanya mengimani al-Qur’an sebagai bacaan ataupun wahyu dari sisi-Nya, tetapi mereka juga menerapkan ajarannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika mereka mendapatkan predikat generasi terbaik umat ini. Gelar yang layak mereka sandang, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu)


Para sahabat radhiyallahu’anhum telah menjadi teladan bagi generasi berikutnya dalam menjadikan al-Qur’an sebagai jalan hidup mereka. Oleh sebab itu mereka pun mulia di sisi Allah karena ketakwaan mereka, kedalaman ilmu mereka, amal salih mereka, dan kecintaan mereka yang teramat besar terhadap Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan Kitab ini dan akan merendahkan sebagian yang lain dengan Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu)


Mereka adalah sebuah generasi yang telah ridha terhadap Allah, Islam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak rela untuk menjual keimanan dan tauhid yang mereka miliki dengan kenikmatan dunia apapun. Mereka lebih memilih disiksa daripada harus menuruti kemauan thaghut dan dedengkot kekafiran. Seperti Bilal bin Rabah radhiyallahu’anhu yang rela tubuhnya tersengat teriknya panas padang pasir dan kesakitan di bawah tindihan batu dengan kalimat ‘Ahad, Ahad’ yang terus mengalir dari bibirnya yang mulia. Itulah manisnya iman yang mereka gapai dengan segenap pengorbanan dan perjuangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu)


Para sahabat hidup di bawah naungan al-Qur’an. Sehingga ayat-ayat suci itu mewarnai hidup dan kehidupan mereka, mewarnai hati dan tingkah laku mereka. Tidak sebagaimana kaum Khawarij yang hanya menjadikan al-Qur’an sebagai hiasan di bibir dan lisan mereka. Akan tetapi, pemikiran dan keyakinan mereka melesat dari agama sebagaimana melesatnya anak panah menembus sasarannya. Kaum Khawarij itulah -meskipun mereka memiliki banyak hafalan al-Qur’an dan bersungguh-sungguh dalam beribadah- kelompok orang yang mendapatkan celaan keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lah yang disebut sebagai anjing-anjing neraka. Sejelek-jelek manusia dan seburuk-buruk kaum yang terbunuh di bawah kolong langit ini. Bahkan, bagi orang yang berhasil membunuh mereka Nabi janjikan pahala yang besar di sisi Allah pada hari kiamat kelak.


Para sahabat radhiyallahu’anhum tidak memandang al-Qur’an sebagai kumpulan dongeng atau cerita pelipur lara belaka. Bahkan, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai undang-undang kehidupan mereka dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, dalam hidup individu dan rumah tangga. Mereka pun tidak menganggap bahwa masa berlakunya hukum-hukum Kitabullah hanya untuk dua atau tiga generasi saja. Bahkan, al-Qur’an itu cocok dan sesuai dengan segala masa dan suasana. Oleh sebab itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berpesan, “Ikutilah tuntunan dan janganlah kalian mengada-adakan ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.”


Para sahabat radhiyallahu’anhum menjadikan al-Qur’an sebagai sesuatu yang harus diyakini dan diamalkan, bukan sesuatu yang harus diragukan apalagi untuk diperdebatkan! Mereka sangat yakin bahwa al-Qur’an adalah sebaik-baik pembicaraan, sejujur-jujur perkataan, dan sebaik-baik petunjuk bagi kemanusiaan. Ia diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Tidaklah datang kepadanya kebatilan, dari arah depan, maupun dari arah belakang. Seandainya seluruh manusia bersatu padu untuk membuat sesuatu yang serupa dengannya, niscaya mereka akan gagal dan tidak sanggup melakukannya, meskipun mereka bahu-membahu dan saling membantu satu dengan yang lain. Tidak mungkin mereka bisa menandingi mukjizat yang agung ini. Inilah kemuliaan al-Qur’an yang akan membuat tentram dan sejuk hati insan beriman. Dan sebaliknya, ia tidak akan mendatangkan pengaruh kepada orang-orang yang zalim kecuali kerugian dan kebencian.


Salafus shalih telah memberikan teladan kepada kita dalam mewarnai bulan yang mulia ini dengan interaksi yang intensif bersama al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri setiap tahunnya menyetorkan hafalan al-Qur’an kepada Jibril ‘alaihis salam di setiap malam di bulan Ramadhan. Demikian pula salafus shalih, mereka memperbanyak membaca al-Qur’an di bulan Ramadhan, di dalam maupun di luar sholat. Az-Zuhri rahimahullah berkata apabila telah masuk bulan Ramadhan, “Sesungguhnya ini adalah kesempatan untuk membaca al-Qur’an dan memberikan makanan.” Imam Malik rahimahullah, apabila telah datang bulan Ramadhan maka beliau menutup majelis hadits dan mengkhususkan diri untuk membaca al-Qur’an dari mushaf. Qatadah rahimahullah pada bulan Ramadhan mengkhatamkan al-Qur’an setiap tiga malam, sedangkan pada sepuluh hari terakhir beliau mengkhatamkannya setiap malam. Begitu pula Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah, pada sepuluh hari terakhir beliau mengkhatamkan al-Qur’an setiap dua malam (lihat Majalis Syahri Ramadhan karya Syaikh Utsaimin, hal. 26-27 cet. Dar al-’Aqidah)


Wahai saudaraku, ucapan manusia…
Telah membuat kita lupa akan ucapan Rabb kita


Kita sibuk dengan perkataan si fulan atau ‘allan
Sementara kita lalai dari nasehat dan bimbingan ar-Rahman


Saudaraku, bulan penuh berkah ada di hadapan
Jangan sampai ia berlalu sedangkan kita terus tenggelam dalam kelalaian


Ya Allah, Ya Rabbi, pertemukanlah kami dengan bulan itu
Larutkanlah kami dalam malam-malam indah bersama-Mu…


Penulis: Ari Wahyudi
Artikel: Muslim.Or.Id

Shalawat Para Malaikat Bagi Orang yang Makan Sahur


Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi


Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat adalah orang yang makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

1. Dua Imam, yaitu Imam Ibnu Hibban dan Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ.

‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.’” [1]

Imam Ibnu Hibban memberikan bab untuk hadits ini dengan judul: “Ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang-Orang yang Makan Sahur.” [2]

2. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu bersabda:

"اَلسَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ, فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ."

‘Makan sahur adalah makanan yang penuh dengan keberkahan, maka janganlah engkau meninggalkannya, walaupun salah seorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.’” [3]

Dalam hadits ini ada sebuah pelajaran yang sangat jelas, yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat gigih membuat umatnya gembira dengan shalawat Allah جَلَّ وَعَلاَ kepada mereka dan permohonan ampun bagi mereka dari para Malaikat dengan sebab makan sahur. Hal itu tampak dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka janganlah kalian meninggalkannya walaupun salah seorang di antara kalian hanya meminum seteguk air.” Maknanya: “Janganlah kalian meninggalkannya, sehingga walaupun tidak memungkinkan seorang dari kalian kecuali hanya meminum sedikit air (saja) dengan tujuan sahur, maka minumlah dengannya.” [4]

Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman al-Banna memberikan komentar bagi hadits ini dengan ungkapan: “Shalawat Allah kepada mereka adalah kasih sayang-Nya kepada mereka, sedangkan shalawat para Ma-laikat kepada mereka adalah permohonan ampun untuk mereka, maka siapa saja yang tidak sahur, ia terhalang dari rahmat Allah Azza wa Jalla dan dari permohonan ampun para Malaikat untuk mereka pada waktu tersebut.” [5]

Ya Allah, janganlah engkau menjadikan kami orang-orang yang terhalang dari kasih sayang-Mu dan orang-orang yang terhalang dari permohonan ampun para Malaikat untuk kami. Kabulkanlah wahai Rabb Yang Mahamendengarkan do’a.

Jika hal tersebut merupakan shalawat dari Allah Ta’ala dan para Malaikat bagi orang yang makan sahur saja, maka bagaimana bagi orang yang menyem-purnakan puasanya karena Allah Azza wa Jalla? Satu makhluk pun sama sekali tidak dapat memperkirakannya di dunia. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengabarkan bahwa:

"قَالَ اللهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ."

“Allah berfirman: ‘Setiap amal manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang langsung mem-balasnya.’” [6]

Dan masih banyak lagi hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya melaksanakan sahur, di antaranya adalah:

1. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ."

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab adalah pada makan sahur.” [7]

2. Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً."

‘Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur itu ada keberkahan.’” [8]

3. Al-Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang mengajak untuk makan sahur pada bulan Ramadhan, beliau bersabda: ‘Marilah kita makan yang dipenuhi dengan keberkahan.’” [9]

Para ulama Salaf sangat mementingkan makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dari Abu Qais, bekas budak ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “‘Amr bin al-‘Ash memerintahkan membuat makanan sahur untuknya, akan tetapi dia tidak menentukan makanan tersebut, lalu kami berkata: ‘Engkau memerintahkan kami (membuat makanan untuk sahur), akan tetapi engkau tidak menentukan makanannya.’

Ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sama sekali tidak memerintahkan kalian untuk membuat makanan karena aku menginginkannya, akan tetapi aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ."

‘Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.’” [10]

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do'aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban kitab ash-Shaum, bab as-Sahuur (VIII/246 no. 3467). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “ Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dan Ibnu Hibban di dalam Shahiihnya.” (At-Targhiib wat Tarhiib II/137). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, (Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib I/519). Syaikh Syu’aib al-Arna-uth berkata: “Hadits ini shahih.” (Catatan pinggir kitab al-Ihsaan VIII/246)
[2]. Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban (VIII/245).
[3]. Al-Musnad (III/12 cet. Al-Maktab al-Islami). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang kuat.” (At-Targhiib wat Tarhiib II/139)
[4]. Lihat kitab Buluughul Amaani (X/16).
[5]. Ibid.
[6]. Lihat Shahiih al-Bukhari kitab ash-Shaum bab Hal Yaquulu Innii Shaa-im idzaa Syutima? (IV/118 no. 1904).
[7]. Shahiih Muslim kitab ash-Shiyaam bab Fadhlus Sahuur wa Ta'-kiidu Istihbaabihi. (II/770-771 no. 1096 (46)).
[8]. Muttafaq ‘alaih. Shahiih al-Bukhari kitab ash-Shaum bab Barakatus Sahuur min Ghairi Iijaab (IV/139 no. 1923) dan Sha-hiih Muslim bab Fadhlus Sahuur wa Ta'kiid Istihbaabihi (II/ 770 no. 1095 (45)).
[9]. Sunan an-Nasa-i kitab ash-Shiyaam bab Da'watus Sahuur (IV/145), hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani (lihat kitab Shahiih Sunan an-Nasa-i II/465-466).
[10]. Sunan ad-Darimi kitab ash-Shiyaam bab Fii Fadhlis Sahuur (I/338-339 no. 1704).

Sumber: almanhaj.or.id

Keberkahan Makan Sahur


Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


DEFINISI
(السَّحُوْرُ), adalah dengan memfat-hahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur [1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2]

Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar adalah dengan didhummahkan karena dengan menfat-hahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan balasan perbuatan, bukan pada makanan.’”[3]

WAKTUNYA
Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, akhir dari malam sebelum Shubuh, ada yang berkata, ia dari sepertiga malam akhir hingga terbit fajar,[4] maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur bagi seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“...Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, [5] yaitu fajar...” [Al-Baqarah: 187]

Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”[6]

Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.” [7]

HUKUMNYA
Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

"تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ."

“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.” [8]

Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ."

”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.” [9]

Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.

Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan puasa mereka adalah sahur, karena mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan untuk bersahur.” [10]

Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh seseorang, baik berupa makanan maupun minuman. [11]

KEUTAMAAN SAHUR DAN KEBERKAHANNYA
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ."

“Bersahurlah, karena pada makan Sahur itu ada keberkahan.” [12]

Dan diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu[13] , ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seseorang untuk makan Sahur seraya bersabda:

"هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ."
“Kemarilah untuk menyantap makanan yang diberkati.” [14]

Makan Sahur memiliki keberkahan dunia dan akhirat, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata saat menjelaskan keberkahan Sahur, “Keberkahan yang terdapat pada makan Sahur sangatlah jelas sekali, karena ia menguatkan untuk berpuasa dan membuatnya bergairah untuknya serta mendapatkan keinginan untuk menambah puasa oleh karena ringannya kesulitan padanya bagi orang yang bersahur.” Dikatakan: “Sesungguhnya ia mengandung terjaga dari tidur, dzikir dan do’a pada saat itu, dimana waktu tersebut adalah waktu turunnya Malaikat, penerimaan do’a dan istighfar, dan kemungkinan ia mengambil wudhu’ lalu shalat atau terus melanjutkan terjaga untuk dzikir, do’a, shalat atau mempersiapkan diri untuk shalat hingga terbit Fajar.” [15]

Yang benar, bahwa keberkahan meliputi semua itu dan hal-hal lain dari manfaat-manfaat Sahur, baik duniawi maupun ukhrawi, dan bahwa makan Sahur mencakup makanan dan minuman, sedangkan kata kerjanya adalah التَّسَحُّرُ.

Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik adalah, bahwa keberkahan dalam makan Sahur dapat diperoleh dari banyak segi, yaitu mengikuti Sunnah dan menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang buruk yang diakibatkan oleh kelaparan, menjadi sebab bersedekah kepada siapa yang meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan, membuatnya berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat puasa bagi mereka yang melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied [16] berkata, ‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi karena dengan menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang dilakukan), begitu pula bisa saja berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti kekuatan tubuh untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya bagi orang yang melaku-kan puasa.’” [17]

Di antara keutamaan-keutamaan yang ditambah bagi makan Sahur adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya akan bershalawat bagi orang-orang yang makan Sahur, tidak dipungkiri bahwa itu adalah keutamaan yang besar.

Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

"السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدْعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يُجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحَّرِيْنَ."

“Makan Sahur adalah keberkahan, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun hanya berupa seteguk air, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya bershalawat bagi orang-orang yang bersahur.” [18]

Maka seyogyanyalah bagi seorang Muslim mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya pada masalah ini, hingga memperoleh keber-kahannya dan keutamaan-keutamaannya serta manfaat dunia dan akhirat.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ash-Shihah (II/679) oleh al-Jauhari, al-Qamuus al-Muhiith (II/528) disusun oleh az-Zawi.
[2]. An-Nihaayah (II/347) oleh Ibnul Atsir.
[3]. Ibid, II/347.
[4]. Lisaanul ‘Arab (IV/350), dengan sedikit perubahan.
[5]. Yaitu gelapnya malam dan terangnya siang, seperti yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy bin Hatim Radhiyallahu anhu, lihat Shahih al-Bukhari (II/231) Kitaabush Shaum bab Qaulullaahu Ta’aalaa: وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا....
[6]. Shahih al-Bukhari (II/771) Kitaabush Shaum bab Qadru Kam bainas Suhuur wa Shallatul Fajr dan Shahih Muslim (II/771).
[7]. Syarhus Sunnah (VI/253) oleh al-Baghawi.
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/232) Kitaabush Shaum bab Barakatus Suhuur min Ghairi Iijaab liannan Nabi j wa Ash-haabuhu Waashalu wa lam Yudzkaris Suhuur juga Muslim dalam Shahihnya (II/770) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlus Suhuur, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dan dalam Shahih Ibni Khuzaimah (III/213).
[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (II/771) kitab ash-Shiyaam bab Fadhlus Suhuur dari ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhu.
[10]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (VII/207).
[11]. Lihat Fat-hul Baari (IV/140) oleh Ibnu Hajjar.
[12]. Telah diriwayatkan dalam ash-Shahihain.
[13]. Beliau adalah al-‘Irbadh bin Sariyah as-Sulami atau Najih, beliau termasuk dari ahli fiqh dan tinggal di Himsh -wilayah Syam-, wafat pada tahun 75 H, lihat Asaadul Ghaabah (III/518), al-Ishaabah (II/266) dan Tahdziibut Tahdziib (VII/174).
[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (II/758) Kitaabush Shiyaam bab Man Sammas Sahuural Ghadaa’ dan an-Nasa-i (IV/126) Kitaabush Shiyaam bab ad-Da’wah ilas Sahuur, Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/126), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (III/214) Kitaabush Shiyaam bab Dziktud Dallilin Naas Sahuur Qad Yaqa’a ‘alaihi Ismul Ghadaa’, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (V/194) disusun oleh al-Farisi, al-Albani berkata dalam Misykatul Mashabiih (I/622), “Sanadnya hasan.”
[15]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (VII/206), dengan perubahan.
[16]. Beliau Muhammad bin ‘Ali bin Wahb al-Qusyairi al-Manfaluthi Taqiyuddin Abul Fath, imam, faqih, mujtahid, hafizh, muhaddits, menulis banyak karangan, dikenal dengan nama Ibnu Daqiq al-‘Ied, beliau seorang yang cerdas di zamannya, sangat luas ilmunya, tenang, berwibawa, seorang hafizh yang kuat, menjadi hakim di Mesir. Di antara karyanya: Syarhul ‘Umdah, al-Imaam fil Ahkaam, al-Iqtiraah fii ‘Uluumil Hadiits, wafat pada tahun 702 H. Lihat Tadzkiiratul Huffaazh (IV/1481), Thabaqatul Huffazh (hal. 516), Syadzaa-ratudz Dzahab (VI/5) dan al-A’laam (VI/283).
[17]. Fat-hul Baari (IV/140). Lihat Ihkaamul Ahkaam Syarhu ‘Umdatul Ahkaam (II/18) oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/12-44), al-Mundziri berkata dalam at-Targhiib wat-Tarhiib (II/139): “Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang kuat.” Al-Haitsami berkata dalam Majmaa’-uz Zawaa-id (III/150): “Diriwayatkan oleh Ahmad dan di dalamnya ada perawi yang bernama Rafa‘ah, aku tidak tahu ada yang menguatkannya. Dia dan tidak pula ada yang melemahkannya, sedangkan para perawi yang lain adalah shahih.” Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya, al-Ihsaan bi Tartiibi Shahih Ibni Hibban (V/194). Lafazh terakhir dari hadits, إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتِهِ adalah dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.

Sumber: almanhaj.or.id

Sambutlah Bulan Ramadhan Dengan Takwa dan Taubat yang Benar

Nasehat Syaikh Bin Baz Rahimahullah [1]
SAMBUTLAH BULAN RAMADHAN DENGAN TAKWA DAN TAUBAT YANG BENAR

Bulan yang sangat kita rindukan kedatangannya sebentar lagi akan datang. Ya, bulan Ramadhan, bulan penuh barakah, bulan yang memiliki banyak keutamaan. Sebagai seorang Muslim, tentu kita sudah mulai mempersiapkan diri untuk menyongsong tamu agung itu. Kita mestinya sudah mulai menyiapkan diri kita agar bisa memaksimalkan momen istimewa ini untuk memperbaiki diri dan menyiapkan bekal keidupan akhirat. Kita tentu tidak ingin momen berharga ini lewat begitu saja. Alangkah ruginya dan alangkah ruginya, jika itu terjadi. Sebab belum tentu kita bisa menjumpai Ramadhan berikutnya dalam keadaan hidup. Betapa banyak orang yang hidup disekitar kita pada bulan Ramadhan tahun lalu, tapi kini mereka sudah tidak ada lagi, tidak ada lagi kesempatan mereka untuk memperbaiki diri dan memperbanyak bekal akhirat. Jangankan menunggu satu tahun, bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari ini pun belum tentu kita gapai. Ya, Allah, hanya kepada-Mu kami memohon, panjangkanlah usia kami sehingga bisa beribadah kepada-Mu di bulan Ramadhan ini.

Berkenaan dengan bulan Ramadhan ini, kami menyajikan kehadapan para pembaca nasehat Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Abdirrahman bin Baz rahimahullah. Nasehat ini beliau sampaikan ketika beliau rahimahullah diminta untuk itu menjelang kedatangan bulan Ramadhan. Akhirnya, kami berharap semoga nasehat ini bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi kaum Muslimin umumnya. Berikut adalah nasehat beliau rahimahullah.
_______________________________________________________________________

Nasehat saya kepada seluruh kaum Muslimin, hendaklah mereka senantiasa bertaqwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Hendaklah mereka menyambut kedatangan bulan (Ramadhân) yang agung ini dengan benar-benar bertaubat dari segala dosa. Hendaklah mereka menyambutnya dengan berusaha memahami agama mereka dan mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah puasa serta qiyâmul lail (shalat malam) mereka. Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam:

مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ 

Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allâh Azza wa Jalla , maka Dia Azza wa Jalla memberikan kepadanya pemahaman tentang dien [2]

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ

Apabila bulan Ramadhân sudah tiba, maka pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka Jahannam ditutup serta setan-setan dibelenggu [3]

Juga berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ 

Jika malam pertama bulan Ramadhân sudah tiba, maka setan-setan dan jin nakal dibelenggu, pintu-pintu neraka Jahannam ditutup tidak ada satu pun yang terbuka, pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun yang tertutup. Kemudian ada malaikat yang menyeru, "Wahai para pencari kebaikan, menghadaplah (ke Allâh Azza wa Jalla dengan memperbanyak ketaatan) ! Wahai para pelaku keburukan, berhentilah ! Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memiliki banyak hamba yang dibebaskan dari siksa api neraka. Itu terjadi setiap malam (bulan Ramadhân) [4]

Rasûlullâh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ 

Barangsiapa melakukan ibadah puasa karena rasa iman dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla, maka dosanya yang telah lewat terampuni. Barangsiapa melakukan ibadah shalat malam karena rasa iman dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla, maka dosanya yang telah lewat diampuni. Barangsiapa melakukan ibadah shalat malam pada malam al-qadar karena rasa iman dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla, maka diampuni dosanya yang telah lewat .[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْـمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Allâh Azza wa Jalla berfirman, "Semua amal kebaikan Bani Adam itu adalah miliknya, kecuali puasa. Karena puasa itu milik-Ku dan Saya yang memberikannya balasan. Puasa itu merupakan tameng. Jika salah diantara kalian sedang menjalankan ibadah puasa, maka janganlah dia berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ia dicela oleh seseorang atau memeranginya, maka hendaklah dia mengatakan, "Saya sedang menjalankan ibadah puasa." Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang menjalankan ibadah puasa lebih wangi daripada minyak misik di sisi Allâh Azza wa Jalla. Orang yang menjalankan ibadah puasa memiliki dua kebahagiaan (yaitu) jika dia berbuka, dia bahagia dan ketika berjumpa dengan Rabbnya, dia bahagia dengan ibadah puasanya. [6]

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allâh Azza wa Jalla sama sekali tidak butuh terhadap puasa orang itu. [7]

Jadi wasiat saya kepada seluruh kaum Muslimin, hendaklah mereka senantiasa bertaqwa kepad Allâh Azza wa Jalla dan berusaha memelihara ibadah puasa mereka dari semua perbuatan maksiat. Hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan serta berlomba-lomba melakukan beragam kebaikan seperti bershadaqah, memperbanyak intensitas bacaan al-Qur'ân, tasbîh, tahlîl, tahmîd, takbîr serta istigfâr. Karena bulan (Ramadhân) ini adalah bulan al-Qur'ân:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). [al-Baqarah/2:185]

Oleh karena itu, disyari'atkan bagi kaum Muslimin, laki-laki maupun perempuan untuk bersungguh-sungguh membaca al-Qur'ân, diwaktu siang maupun malam. Setiap satu hurup bernilai satu kebaikan dan satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat, sebagaimana diberitakan oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Semangaat melakukan kebaikan ini) harus disertai semangat untuk menjauhi semua bentuk keburukan dan perbuatan maksiat, (juga harus diiringi semangat untuk) saling menasehati dengan kebenaran, amar ma'ruf dan nahi mungkar.

Bulan Ramadhân ini merupakan bulan yang dilipatgandakan (nilai) amal kebaikan di dalamnya, begitu pula balasan keburukan. Oleh karena itu, seorang Muslim berkewajiban untuk bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban yang Allâh Azza wa Jalla bebankan kepadanya serta menjauhi semua yang Allâh Azza wa Jalla haramkan. Dan hendaklah perhatiannya (terhadap kewajiban dan larangan itu-pent) pada bulan Ramadhân lebih ditingkatkan lagi. Sebagaimana juga disyari'atkan bagi seorang Muslim untuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakan berbagai amal kebaikan seperti bershadaqah, mengunjungi orang sakit, mengantarkan jenazah (ke kuburan), menyambung tali silaturrahmi, baca al-Qur'an, membaca tasbîh, tahlîl, tahmîd, istigfâr, doa dan beragam kebaikan lainnya. Dia (melakukan itu, karena-pent) berharap bisa meraih pahala dari Allâh Azza wa Jalla dan karena takut terhadap siksa-Nya. Kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada seluruh kaum Muslimin menuju keridhaan-Nya. Kami juga memohon kepada-Nya agar memanjangkan umur kita sehingga bisa melaksanakan ibadah puasa dan qiyâmul lail (shalat malam atau terawih-pent) dengan dilandasi keimanan dan keinginan meraih pahala-Nya. Sebagaimana juga kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kepada kami dan seluruh kaum Muslimin pemahaman terhadap agama ini, keistiqâmahan serta terhindar dari segala yang bisa mendatangkan murka dan siksa Allâh Azza wa Jalla . Kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada para penguasa kaum Muslmin; Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa memberikan hidayah kepada mereka, memperbaiki kondisi mereka serta memberikan taufiq kepada mereka supaya menerapkan syari'at-syari'at Allâh Azza wa Jalla dalam semua aspek kehidupan, sebagai perwujudan dari firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh [al-Mâidah/5:49]

Juga firman-Nya :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allâh bagi orang-orang yang yakin ? [al-Mâidah/5:50]

Juga firman-Nya :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ/4:65]

Juga firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allâh dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur'ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ/4:59]

Juga firman-Nya :

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ

Katakanlah: "Taat kepada Allâh dan taatlah kepada rasul". [an-Nûr/24:54]

Juga firman-Nya :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumnya. [Hasyr/59:7]

Inilah beberapa kewajiban kaum Muslimin juga para pemimpin mereka. Para penguasa dan para Ulama (juga) wajib bertaqwa kepada Allâh Azza waa Jalla, tunduk kepada syari'at-Nya serta menerapkannya dalam kehidupan mereka. Karena dengan syari'at Allâh (kita akan meraih) kebaikan, hidayah, hasil akhir yang terpuji, keridhaan Allâh Azza wa Jalla , kebenaran serta dengan syari'at ini (kita bisa) menghindari tindakan kezhaliman.

Kami memohon kepada Allâh Azza wa Jalla, semoga memberikan petunjuk, niat dan amal perbuatan yang baik.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.  0271-858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari Majmû' Fatâwâ wa Maqâlâtu Mutanawwi'ah, 15/51-55
[2]. HR Imam Bukhari, dalam Kitâbul 'Ilmi, Bâb Man Yuridillâhu bihi Khairan Yufaqqihhu fid Dîn, no. 71 dan Riwayat Imam Muslim, Kitâbuz Zakat, Bâb an-Nahyu 'anil Mas'alah, no. 1037
[3]. HR Imam Bukhari, dalam Kitâbu Bad'il Khalq, Bâb Shifati Iblîs wa Junûduhu, , no. 3277 dan Riwayat Imam Muslim, Kitâbus Shiyâm, Bâb Fadhli Syahri Ramadhân, no. 1079
[4]. HR. Tirmidzi dalam Kitabus Shaum, Bâb Ma Ja'a fi Fadhli Syahri Ramadhân, no. 682 dan Ibnu Majah, Kitabus Shiyam, Bâb Ma Ja'a fi Fadhli Syahri Ramadhân, no. 1642
[5]. HR Imam Bukhari, dalam Kitâbus Shaum, Bâb Man Shâma Ramadhân Îmânan wa ihtisâban, no. 1901 dan Riwayat Imam Muslim, Kitâbus Shalâtil Musâfirîn wa Qashrihâ, Bâb at-Targhîb fî Shiyâmi Ramadhân, no. 760
[6]. HR Imam Bukhari, no. 7492 dan Riwayat Imam Muslim, no.1151
[7]. HR Imam Bukhari, kitab as-Shaum, Bab Man Lâm Yada' Qaulaz Zûri wal 'Amala bihi, no. 1903

Sumber: almanhaj.or.id

Shaum Ramadhan Bersama Penguasa, Syi’ar Kebersamaan Umat Islam


Oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersa-maan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah n bersabda:

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menen-tangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:

Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
q Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah I bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)
q Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini1 dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
q Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksian-nya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
q Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muham-mad Nashiruddin Al-Albani2 berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Rama-dhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
q Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah memper-satukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat g shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbe-daan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagai-mana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan z shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud z mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi n, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar z.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah I bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
q Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz t pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumum-kan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukum-nya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah I membalas engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi n:

“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
q Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terka-dang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadi-nya) sekian kejelekan? Semoga Allah I memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah I:

“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)

“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak ber-pecah-belah dalam beragama. Hendak-nya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
q Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n’ haruslah senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah I dalam kalam-Nya nan suci:

“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah I mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Seba-gaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:
Allah I berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah U wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul n, maka beliau n seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim z berkata:

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah n bersabda:

“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah n bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengar-kanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah n bersabda:

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:
q Shahabat Ali bin Abi Thalib z berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah I tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)
q Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walau-pun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
q Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah I wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
q Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
q Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
q Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan keber-samaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: http://asysyariah.com