Selasa, 03 Januari 2012

23. Berdekatannya Zaman (Singkatnya Waktu)

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


23. BERDEKATANNYA ZAMAN (SINGKATNYA WAKTU)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى... يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ.

‘Tidak akan tiba hari Kiamat hingga... zaman berdekatan.’” [1]

Dan diriwayatkan dari beliau Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ فَتَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ، وَيَكُونَ الشَّهْرُ كَالْجُمُعَةِ، وَتَكُونَ الْجُمُعَةُ كَالْيَوْمِ، وَيَكُونَ الْيَوْمُ كَالسَّاعَةِ، وَتَكُونَ السَّاعَةُ كَاحْتِرَاقِ السَّعَفَةِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma.”[2]

Ada beberapa pendapat para ulama tentang makna berdekatannya zaman, di antaranya:

Pertama : Maksudnya adalah sedikitnya keberkahan di dalam waktu.[3]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hal ini telah didapati pada zaman kita sekarang ini. Karena kita telah menjumpai cepatnya waktu berlalu yang tidak pernah kita temukan pada zaman sebelum kita.” [4]

Kedua : Maksudnya adalah apa yang akan terjadi pada zaman al-Mahdi dan Nabi ‘Isa Alaihissallam, di mana manusia menikmati kehidupannya, adanya jaminan keamanan, juga keadilan. Saat itu manusia merasakan singkatnya masa-masa kemakmuran padahal waktunya lama, dan masa-masa sulit dirasakan lama padahal singkat.[5]

Ketiga : Maksudnya adalah kedekatan (kemiripan) keadaan penghuninya dalam hal sedikitnya ilmu agama. Sehingga, tidak ada amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah-tengah mereka karena mendominasinya kefasikan dan para pelakunya. Secara khusus hal itu terjadi ketika upaya mencari ilmu ditinggal-kan serta ridha dengan kebodohan. Karena sesungguhnya manusia tidak sama dalam keilmuannya, dan beragamnya tingkatan ilmu mereka, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“... Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” [Yusuf: 76]

Dan mereka dikatakan sama hanya ketika dalam kebodohan.

Keempat : Maksudnya adalah berdekatannya orang-orang pada zaman tersebut karena banyaknya sarana-sarana perhubungan dan transportasi darat maupun udara yang mendekatkan jarak yang jauh.[6]

Kelima : Maknanya adalah singkatnya waktu, cepat secara hakiki, hal itu terjadi di akhir zaman.

Peristiwa ini belum terjadi sampai sekarang, hal itu diperkuat oleh riwayat yang menjelaskan bahwa hari-hari ketika Dajjal datang terasa lama, sehingga satu hari bagaikan satu tahun, bagaikan satu bulan dan bagaikan satu pekan. Sebagaimana hari-hari itu terasa lama, maka ia pun bisa terasa singkat [7]. Ini terjadi karena rusaknya tatanan alam, dan telah dekatnya kehancuran dunia.

Ibnu Abi Jamrah rahimahullah[8] berkata, “Kemungkinan yang dimaksud dengan dekatnya zaman adalah singkatnya (waktu) sesuai dengan yang diungkap dalam sebuah hadits:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga satu tahun bagaikan satu bulan.”

Oleh karenanya, maka singkatnya waktu bisa berupa sesuatu yang dapat dirasakan oleh indra atau sesuatu yang maknawi.

Adapun yang bisa dirasakan indra sama sekali belum nampak, mungkin hal itu terjadi sebagai tanda dekatnya Kiamat.

Adapun yang maknawi, hal itu sering terjadi. Hal itu dirasakan oleh para ulama dan orang-orang yang memiliki kecerdasan dalam ilmu dunia. Mereka mendapati diri mereka tidak mampu melakukan pekerjaan persis seperti yang dilakukan sebelumnya, mereka mengeluhkannya dan tidak mengetahui alasan akan hal itu, kemungkinan hal itu terjadi karena lemahnya keimanan yang disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran syari’at dalam berbagai hal, terutama pelanggaran dalam hal makanan. Tidak diragukan di dalamnya ada sesuatu yang murni haram dan yang syubhat, dan kebanyakan manusia tidak berhenti mengkonsumsi hal itu, walaupun ia sanggup untuk mendapatkan sesuatu yang halal, akan tetapi dia tetap mengambilnya tanpa mau peduli.

Dan kenyataannya bahwa keberkahan dalam waktu, rizki, dan tumbuhan hanya dapat diwujudkan dengan kekuatan iman, mengikuti perintah, dan menjauhi larangan, dalil akan hal itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi....” [Al-A’raaf: 96][9]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiihul Bukhari, kitab al-Fitan (XIII/81-82, al-Fath).
[2]. Musnad Ahmad (II/537-538, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz), dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Anas, lihat Jaami’ at-Tirmidzi, bab-bab az-Zuhd bab Ma Jaa-a fii Taqaarubiz Zamaan wa Qashril Amal (VI/624, 625, Tuhfatul Ahwadzi).
Ibnul Katsir berkata, “Isnadnya berdasarkan syarat Muslim,” an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/181), tahqiq Dr. Thaha Zaini.
Al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah perawi ash-Shahiih,” Majma’uz Zawaa-id (VII/231).
Al-Albani berkata, “Shahih,” lihat kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (VI/175, no. 7299).
[3]. Lihat Ma’aalimus Sunan (VI/141-142, dengan catatan pinggir Mukhtashar Sunan Abi Dawud, karya al-Mundziri), Jaami’ul Ushuul, karya Ibnul Atsir (X/409), dan Fat-hul Baari (XIII/16).
[4]. Fat-hul Baari (XIII/16)
[5]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/16)
[6]. Lihat Ithaaful Jamaa’ah (I/497), dan al-‘Aqaa-idul Islaamiyyah (hal. 247), karya Sayyid Sabiq.
[7]. Mukhtashar Sunan Abi Dawud (VI/142), Jaami’ul Ushuul (X/409) tahqiq Muhammad ‘Abdul Qadir al-Arna-uth.
[8]. Beliau adalah al-‘Allamah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Sa’d bin Sa’id bin Abi Jamrah al-Azdi al-Andalusi al-Maliki, seorang alim di bidang hadits dan memiliki beberapa karya tulis, di antaranya: Jam’un Nihaayah merupakan ringkasan kitab Shahiih al-Bukhari, beliau pun memiliki kitab al-Maraa-il Hasan yaitu kitab tentang hadits dan tafsir mimpi.
Ibnu Katsir mengomentari beliau dengan perkataannya, “Al-Imam, al-alim, ahli ibadah… dia adalah orang yang selalu mengatakan kebenaran, memerintah yang ma’ruf dan melarang kemunkaran.”
Wafat di Mesir pada tahun 695 H t.
Lihat biografinya dalam al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/346), al-A’laam (IV/ 89).
[9]. Fat-hul Baari (XIII/17).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar anda di sini!