Selasa, 03 Januari 2012

26. Merajalelanya Perbuatan Keji, Pemutusan Silaturahmi dan Jeleknya Hubungan Bertetangga

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

26. MERAJALELANYA PERBUATAN KEJI, PEMUTUSAN SILATURAHMI DAN JELEKNYA HUBUNGAN BERTETANGGA
Al-Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفَحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ وَسُوءُ الْمُجَاوَرَةِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga banyak perbuatan dan perkataan keji, pemutusan silaturahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”[1]

Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: اَلْفَحْشُ وَالتَّفَحُّشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحْمِ.

‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah perbuatan dan perkataan yang keji (kotor), serta pemutusan silaturahmi.” [2]

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ... وَقَطْعُ اْلأَرْحَامِ.

“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat... dan pemutusan silaturahmi.” [3]

Apa-apa yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'aliahi wa sallam telah terjadi, kekejian menyebar di sebagian besar kalangan manusia, mereka tidak peduli terhadap perkataan yang mengandung dosa yang mereka ucapkan, juga tidak peduli terhadap akibat (siksa) yang sangat pedih atas perbuatan tersebut. Hubungan kekerabatan diputuskan, seseorang tidak menjalin kekerabatan dengan kerabatnya. Bahkan di antara mereka terjadi saling memutuskan silaturahmi dan saling memusuhi, hal itu terus-menerus terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sementara mereka berada di satu daerah. Mereka tidak saling mengunjungi dan tidak saling menjalin kekerabatan. Tidak diragukan bahwa hal ini disebabkan lemahnya keimanan. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'aliahi wa sallam mendorong umatnya untuk saling menjalin hubungan silaturahmi dan memberikan peringatan agar tidak memutuskannya.

Beliau Shallallahu 'aliahi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ، قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنَ الْقَطِيعَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى. قَالَ فَذَاكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْأُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, hingga ketika selesai dari (menciptakan) mereka, rahim (kekerabatan) berdiri seraya bertanya, ‘Apakah ini tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus-kan (hubungan silaturahmi)?’ Allah menjawab, ‘Betul, senangkah engkau jika Aku berbuat baik kepada orang yang menghubungkanmu dan jika Aku berbuat tidak baik kepada orang yang memutuskanmu?’ Rahim berkata, ‘Tentu saja.’ Allah berkata, ‘Itulah bagianmu.’” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mau bacalah (firman Allah): ‘Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah, lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. Maka tidakkah mereka menghayati al-Qur-an ataukah hati mereka sudah terkunci?’ [Muhammad: 22-24]” [4]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ.

“Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan silaturahmi.” [5]

Adapun tentang jeleknya hubungan bertetangga (maka sangat penting untuk kita bicarakan). Betapa banyak seseorang yang tidak mengenal tetangganya sendiri, tidak pernah memperhatikan keadaannya untuk memberikan bantuan ketika ia membutuhkan! Bahkan sebaliknya dia selalu mengganggunya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyakiti tetangga. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.”[6]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar berbuat baik kepada tetangga. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya.”[7]

Dan Nabi Shallallahu 'aliahi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.

“Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku mengira bahwa dia membawa perintah (dari) Allah untuk menjadikannya sebagai ahli waris.”[8]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Musnad Ahmad (X/26-31, Syarah Ahmad Syakir), beliau berkata, “Isnadnya shahih,” dan beliau menuturkan riwayat al-Hakim dan menjelaskannya dengan gamblang.
Lihat Mustadrak al-Hakim (I/75-76), beliau telah meriwayatkannya dengan tiga sanad. Beliau ber-kata, “Ini adalah hadits shahih, dan asy-Syaikhani telah bersepakat untuk menjadikan semua perawi-nya sebagai hujjah, selain Abu Sabrah al-Hadzali, ia adalah tokoh Tabi’in, dan beliau menyebutkannya di dalam kitab-kitab Musnad juga Tarikh bahwa dia tidak tercela.” Dan beliau mengungkapkan syahid (penguat) baginya. Adz-Dzahabi menyepakati beliau dalam menshahihkannya.
[2]. Maj’mauz Zawaa-id (VII/284), al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah tsiqah,” dan sebagiannya diperdebatkan, sementara hadits-hadits yang diungkapkan menjadi penguat baginya.
[3]. Musnad Ahmad (V/333, Syarah Ahmad Syakir), beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab Shilaturrahim wa Tahriimi Qath’ihaa (XVI/112, Syarh an-Nawawi).
[5]. Shahiih Muslim (XVI/114, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab al-Hatstsu ‘alaa Ikraamil Jaar wadh Dha’iif (II/20, Syarh an-Nawawi).
[7]. Ibid.
[8]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab ash-Shilatu bil Jaar wal Ihsaan ilaihi (XVI/176, Syarh an-Nawawi).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan komentar anda di sini!