Jika Persaksian Hilal Ditolak dalam Sidang Itsbat

Satu kasus yang sering terjadi ketika pemutusan kapan berhari raya dan memulai puasa. Di sebagian tempat ternyata melihat hilal seperti yang sering terjadi di daerah Cakung, namun di daerah lain bahkan mayoritasnya tidak tampak. Bagaimana jika ada yang melihat hilal, apakah ia tetap boleh berpuasa atau berhari raya?.....

Kumpulan Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Qodho Puasa

1. Qodho (Mengganti) Puasa yang TertundaSoal:Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang. Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?Jawab:Wajib bagimu......

Indahnya Ramadhan Bersama Al-Qur’an

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan warna ketaatan. Selain ibadah puasa di siang hari, kaum muslimin dapat menikmati keindahan tadabbur dan tilawah al-Qur’an di malam hari. Dengan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an itulah ketenangan jiwa akan didapatkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah, bahwa dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang.....

Shalawat Para Malaikat Bagi Orang yang Makan Sahur

Oleh Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat adalah orang yang makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah: 1. Dua Imam, yaitu Imam Ibnu Hibban dan Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:....

Keberkahan Makan Sahur

Oleh Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i DEFINISI (السَّحُوْرُ), adalah dengan memfat-hahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur [1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2] Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak....

Selasa, 03 Januari 2012

28. Tersebarnya Kebakhilan dan Kekikiran

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

28. TERSEBARNYA KEBAKHILAN DAN KEKIKIRAN
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَظْهَرَ الشُّحُّ.

‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah tersebarnya kekikiran.’” [1]

Diriwayatkan dari beliau pula, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ وَيُلْقَى الشُّحُّ.

“Zaman saling berdekatan, amal berkurang dan kekikiran dilemparkan (ke dalam hati).” [2]

Diriwayatkan dari Mu’awiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزْدَادُ اْلأَمْرُ إِلاَّ شِدَّةً، وَلاَ يَزْدَادُ النَّـاسُ إِلاَّ شُحًّا.

“Segala urusan tidak akan bertambah kecuali semakin sulit, dan manusia tidak akan bertambah kecuali semakin kikir.”[3]

Kikir adalah akhlak tercela yang dilarang oleh Islam. Islam menjelaskan bahwa siapa saja yang dijaga dari kekikiran jiwanya, maka sungguh ia telah sukses dan beruntung, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“... Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [Al-Hasyr: 9 dan ath-Thaghaabun: 16]

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ، وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ.

“Jagalah diri kalian dari kezhaliman, karena kezhaliman adalah kegelapan pada hari Kiamat, dan jagalah diri kalian dari kekikiran, karena kekikiran telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian, kekikiran itulah yang telah mendorong mereka untuk saling menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan bagi mereka.” [4]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Mungkin saja kehancuran di sini adalah kehancuran yang dikabarkan tentang mereka di dunia, karena mereka saling menumpahkan darah, mungkin pula bermakna kehancuran di akhirat, yang kedua lebih jelas, bisa juga maknanya adalah menghancurkan mereka di dunia dan akhirat.” [5]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. Ath-Thabrani dalam al-Ausath, lihat Fat-hul Baari (XIII/15).
Al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah perawi ash-Shahiih, selain Muhammad bin al-Harits bin Sufyan, ia adalah tsiqah.” Majma’uz Zawaa-id (VII/327).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Zhuhuurul Fitan (XIII/13, al-Fat-h).
[3]. HR. Ath-Thabrani. Perawi beliau adalah perawi ash-Shahiih (Majma’uz Zawaa-id VIII/14).
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab Tahriimuz Zhulmi (XVI/134, Syarh an-Nawawi).
[5]. Syarah an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVI/134).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

27. Orang Tua Berlagak Seperti Anak Muda

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

27. ORANG TUA BERLAGAK SEPERTI ANAK MUDA
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa allam bersabda:

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ، لاَ يَرِيْحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.

‘Akan ada di akhir zaman satu kaum yang menyemir rambut mereka dengan warna hitam bagaikan dada burung merpati, mereka tidak akan pernah mencium harumnya Surga.’” [1]

Apa yang diungkapkan dalam hadits di atas telah terjadi pada zaman sekarang ini. Telah tersebar di antara kaum pria, mereka menyemir jenggot juga rambut mereka dengan warna hitam.

Yang nampak bagi kami -wallaahu a’lam- sesungguhnya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ (seperti dada burung merpati) adalah serupa dengan keadaan sebagian kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Anda bisa mendapati mereka, memperlakukan jenggot mereka seperti keadaan dada burung dara. Mereka mencukur sisinya dan membiarkan yang ada di bawah dagunya, kemudian menyemirnya dengan warna hitam sehingga jadilah ia seperti dada-dada burung dara.

Ibnul Jauzi[2] rahimahullah berkata, “Bisa jadi bahwa makna tidak mencium wanginya Surga karena perbuatan yang mereka lakukan, atau karena keyakinan dan bukan karena semata-mata memakai semir rambut. Bisa jadi semir rambut itu menjadi ciri bagi mereka sebagaimana ciri kaum Khawarij adalah membotaki rambut, walaupun pada dasarnya membotaki rambut bukanlah sesuatu yang diharamkan.” [3]

Kami katakan: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyemir rambut dan jenggot dengan warna hitam. Dijelaskan dalam ash-Shahiih dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:

أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.

“Abu Quhafah didatangkan pada hari penaklukan Makkah dengan rambut dan jenggot yang berwarna putih seperti pohon ats-tsaghamah[4], lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Ubahlah (uban) ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam!’”[5]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Musnad Imam Ahmad (IV/156, no. 247), tahqiq dan syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Shahih.”
Sunan Abi Dawud, kitab at-Tarajjul, bab Ma Jaa-a fii Khudhaabis Sawaad (XI/ 266, ‘Aunul Ma’buud).
Ibnu Hajar berkata, “Isnadnya kuat, hanya saja ada perbedaan, apakah hadits ini mauquf atau marfu, lalu walaupun kita mengatakan bahwa hadits ini mauquf, maka hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan pendapat sehingga hukumnya adalah marfu’ (Fat-hul Baari VI/499).
Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, Ahmad, adh-Dhiya' dalam kitab al-Mukhtaarah juga yang lainnya yang tidak mungkin diungkapkan… dengan sanad yang shahih me-nurut syarat asy-Syaikhani.”
Lihat kitab Ghaayatul Maraam fi Takhriiji Ahaadiitsil Halaal wal Haraam (hal. 84), cet. al-Maktab al-Islami, cet. pertama (1400).
Hadits ini diungkapkan pula oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab al-Maudhu’aat (III/55), beliau meng-ungkapkan bahwa yang muttaham adalah ‘Abdul Karim bin Abil Mukhariq, dia adalah matruk (di-tinggalkan haditsnya).
Ibnu Hajar membantah, beliau berkata, “Beliau salah dalam masalah itu, karena sesungguhnya hadits yang datang dari riwayat ‘Abdul Karim al-Jazari at-Tsiqah dijadikan perawi di dalam kitab ash-Shahiih.
Kemudian beliau menuturkan para perawi hadits tersebut, lihat kitab al-Qaulul Musaddad (hal. 48-49) karya Ibnu Hajar.
Ibnu Jauzi diikuti pendapatnya oleh asy-Syaukani dalam masalah itu, beliau berkata dalam kitab al-Fawaa-idul Majmuu’ah, “Al-Quzwaini berkata, ‘Hadits maudhu’.’ Al-Fawaa-idul Majmuu’ah fil Ahaadiitsil Maudhuu’ah (hal. 510 no. 1420) dengan tahqiq ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi, cet. II th. 1392 H, Beirut.
[2]. Beliau adalah al-Allamah Abul Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi al-Qurasy al-Baghdadi al-Hanbali, pengarang karya-karya tulis besar yang mencapai tiga ratus karya tulis dalam bidang hadits, nasihat, tafsir, sejarah dan yang lainnya. Wafat pada tahun 597 H.
Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/28-30), dan Muqaddimah kitab al-Maudhuu’aat (I/ 21-226) karya ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman, disebar luaskan oleh Muhammad ‘Abdul Muhsin, cet. I th. 1386 H.
[3]. Al-Maudhuu’aat (III/55), karya Ibnul Jauzi.
Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah sesungguhnya sekelompok Sahabat dan Tabi’in pernah menyemir rambut mereka. Di antara mereka adalah: al-Hasan, al-Husain, Sa’d bin Abi Waqqas, demikian pula banyak dari kalangan Tabi’in yang membotaki rambut mereka. Sebagian memakruhkannya hanya karena di dalamnya ada unsur penyamaran. Adapun jika mencapai derajat haram ketika tidak ada unsur penyamaran, maka pendapat ini perlu mendapat peringatan. Tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian.” (Al-Maudhu’aat III/55).
An-Nawawi berkata, “Diharamkan memakai semir rambut berwarna hitam menurut pendapat yang paling benar, ada juga yang mengatakan hukumnya makruh tanzih, dan pendapat yang paling tepat adalah haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.
‘Dan jauhilah warna hitam!’”
(Syarh Muslim XIV/80).
Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab al-Khidhaab dari az-Zuhri, beliau berkata, “Dahulu kami menyemir rambut dengan warna hitam ketika wajah masih cerah (muda) ketika wajah mulai keriput dan gigi telah rapuh (tua), maka kami meninggalkannya.” Fat-hul Baari (X/354-355).
Al-Albani berkata, “Yang jelas bahwa az-Zuhri tidak mengetahui sama sekali adanya hadits yang mengharamkannya, dia berpendapat hanya dengan perasaannya saja, bagaimana pun keadaannya, perkataan atau perbuatan seseorang bukanlah hujjah setelah adanya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, hadits terdahulu merupakan hujjah yang membatalkan pendapat az-Zuhri juga yang lainnya.” Ghaayatul Maraam (hal. 84).
[4] (اَلثُّغَامَةُ) dengan tsa yang didhammahkan dan ghin yang berharakat: pohon yang sangat putih bunga dan buahnya, ada juga yang mengatakan pohon yang sangat putih bagaikan salju.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/214), dan Fat-hul Baari (X/355).
[5]. Shahiih Muslim, kitab al-Libaas waz Ziinah bab Istihbaabu Khidhaabis Syaib bi Shufratin au Humratin wa Tahriimuhu bis Sawaad (XIV/79, Syarh an-Nawawi).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

26. Merajalelanya Perbuatan Keji, Pemutusan Silaturahmi dan Jeleknya Hubungan Bertetangga

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

26. MERAJALELANYA PERBUATAN KEJI, PEMUTUSAN SILATURAHMI DAN JELEKNYA HUBUNGAN BERTETANGGA
Al-Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفَحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ وَسُوءُ الْمُجَاوَرَةِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga banyak perbuatan dan perkataan keji, pemutusan silaturahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”[1]

Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: اَلْفَحْشُ وَالتَّفَحُّشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحْمِ.

‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah perbuatan dan perkataan yang keji (kotor), serta pemutusan silaturahmi.” [2]

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ... وَقَطْعُ اْلأَرْحَامِ.

“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat... dan pemutusan silaturahmi.” [3]

Apa-apa yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'aliahi wa sallam telah terjadi, kekejian menyebar di sebagian besar kalangan manusia, mereka tidak peduli terhadap perkataan yang mengandung dosa yang mereka ucapkan, juga tidak peduli terhadap akibat (siksa) yang sangat pedih atas perbuatan tersebut. Hubungan kekerabatan diputuskan, seseorang tidak menjalin kekerabatan dengan kerabatnya. Bahkan di antara mereka terjadi saling memutuskan silaturahmi dan saling memusuhi, hal itu terus-menerus terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sementara mereka berada di satu daerah. Mereka tidak saling mengunjungi dan tidak saling menjalin kekerabatan. Tidak diragukan bahwa hal ini disebabkan lemahnya keimanan. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'aliahi wa sallam mendorong umatnya untuk saling menjalin hubungan silaturahmi dan memberikan peringatan agar tidak memutuskannya.

Beliau Shallallahu 'aliahi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ، قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنَ الْقَطِيعَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى. قَالَ فَذَاكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْأُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, hingga ketika selesai dari (menciptakan) mereka, rahim (kekerabatan) berdiri seraya bertanya, ‘Apakah ini tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus-kan (hubungan silaturahmi)?’ Allah menjawab, ‘Betul, senangkah engkau jika Aku berbuat baik kepada orang yang menghubungkanmu dan jika Aku berbuat tidak baik kepada orang yang memutuskanmu?’ Rahim berkata, ‘Tentu saja.’ Allah berkata, ‘Itulah bagianmu.’” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mau bacalah (firman Allah): ‘Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah, lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. Maka tidakkah mereka menghayati al-Qur-an ataukah hati mereka sudah terkunci?’ [Muhammad: 22-24]” [4]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ.

“Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan silaturahmi.” [5]

Adapun tentang jeleknya hubungan bertetangga (maka sangat penting untuk kita bicarakan). Betapa banyak seseorang yang tidak mengenal tetangganya sendiri, tidak pernah memperhatikan keadaannya untuk memberikan bantuan ketika ia membutuhkan! Bahkan sebaliknya dia selalu mengganggunya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang menyakiti tetangga. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.”[6]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar berbuat baik kepada tetangga. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya.”[7]

Dan Nabi Shallallahu 'aliahi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.

“Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku mengira bahwa dia membawa perintah (dari) Allah untuk menjadikannya sebagai ahli waris.”[8]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Musnad Ahmad (X/26-31, Syarah Ahmad Syakir), beliau berkata, “Isnadnya shahih,” dan beliau menuturkan riwayat al-Hakim dan menjelaskannya dengan gamblang.
Lihat Mustadrak al-Hakim (I/75-76), beliau telah meriwayatkannya dengan tiga sanad. Beliau ber-kata, “Ini adalah hadits shahih, dan asy-Syaikhani telah bersepakat untuk menjadikan semua perawi-nya sebagai hujjah, selain Abu Sabrah al-Hadzali, ia adalah tokoh Tabi’in, dan beliau menyebutkannya di dalam kitab-kitab Musnad juga Tarikh bahwa dia tidak tercela.” Dan beliau mengungkapkan syahid (penguat) baginya. Adz-Dzahabi menyepakati beliau dalam menshahihkannya.
[2]. Maj’mauz Zawaa-id (VII/284), al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah tsiqah,” dan sebagiannya diperdebatkan, sementara hadits-hadits yang diungkapkan menjadi penguat baginya.
[3]. Musnad Ahmad (V/333, Syarah Ahmad Syakir), beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab Shilaturrahim wa Tahriimi Qath’ihaa (XVI/112, Syarh an-Nawawi).
[5]. Shahiih Muslim (XVI/114, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab al-Hatstsu ‘alaa Ikraamil Jaar wadh Dha’iif (II/20, Syarh an-Nawawi).
[7]. Ibid.
[8]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab ash-Shilatu bil Jaar wal Ihsaan ilaihi (XVI/176, Syarh an-Nawawi).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

25. Munculnya Kemusyrikan

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

25. MUNCULNYA KEMUSYRIKAN PADA UMAT INI
Ini adalah di antara tanda-tanda Kiamat yang telah nampak dan akan semakin bertambah. Telah terjadi kemusyrikan pada umat ini, dan berbagai kabilah dari umat ini mengikuti kaum musyrikin, mereka menyembah ber-hala, membangun berbagai macam bangunan di atas kuburan dan menyembah-nya selain kepada Allah dengan tujuan mengambil keberkahan dan mengagungkannya, memberikan berbagai nadzar, dan merayakan berbagai perayaan, kebanyakan darinya (kubur-kubur) mempunyai kedudukan seperti Latta, Uzza, Manat bahkan lebih besar lagi kemusyrikannya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari Tsauban Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وُضِعَ السَّيْفُ فِي أُمَّتِي؛ لَمْ يُرْفَعْ عَنْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّـى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ، وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي اْلأَوْثَانَ.

‘Jika pedang telah diletakkan pada umatku, maka ia tidak akan pernah diangkat darinya sampai hari Kiamat, dan tidak akan tiba hari Kiamat hingga beberapa kabilah dari umatku mengikuti kaum musyrikin, dan beberapa kabilah dari umatku menyembah berhala.’”[1]

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَضْطَرِبَ أَلَيَاتُ نِسَاءِ دَوْسٍ حَوْلَ ذِي الْخَلَصَةِ.

‘Tidak akan datang hari Kiamat hingga pantat-pantat para wanita Daus bergoyang di sekitar Dzil Khalashah.’”[2]

Dzul Khalashah adalah thaghut kabilah Daus yang mereka sembah pada masa Jahiliyyah. [3]

Apa-apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits ini telah terjadi. Karena sesungguhnya kabilah Daus dan sekitarnya dari kalangan Arab telah terkena fitnah Dzul Khalashah ketika kebodohan kembali masuk ke negeri-negeri mereka. Kemudian mereka mengulang sejarah mereka, menyembah selain Allah, hingga Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah menegakkan dakwah tauhid dan memperbaharui segala macam syi’ar-syi’ar agama yang telah tenggelam. Akhirnya kembalilah Islam ke Jazirah Arab, demikian pula yang dilakukan oleh al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Saud rahimahullah. Beliau mengutus beberapa orang da’i ke daerah Dzul Khalashah, mereka menghancurkannya dan merobohkan sebagian bangunan yang ada di sana, lalu ketika pemerintahan keluarga Saud berakhir atas Hijaz pada masa tersebut, maka orang-orang kembali kepada peribadahannya. Kemudian ketika raja ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdirrahman Alu Su’ud rahimahullah naik tahta, beliau menugaskan wakilnya di tempat itu dan mengirim beberapa pasukan untuk menghancurkannya dan menghilangkan semua bekas-bekasnya. Hanya milik Allah-lah segala puji.[4]

Kemusyrikan akan senantiasa ada di berbagai negeri. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يَذْهَبُ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ حَتَّى تُعْبَدَ اللاَّتُ وَالْعُزَّى، فَقاَلَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُـولَ اللهِ! إِنْ كُنْتُ لأَظُنُّ حِيْـنَ أَنْزَلَ اللهُ هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ أَنَّ ذَلِكَ تَامًّا قَالَ: إِنَّهُ سَيَكُونُ مِنْ ذَلِكَ مَا شَاءَ اللهُ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللهُ رِيْحًا طَيِّبَةً فَتَوَفَّى كُلَّ مَنْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيَبْقَى مَنْ لاَ خَيْرَ فِيهِ فَيَرْجِعُوْنَ إِلَى دِيْنِ آبَائِهِمْ.

“Tidak akan hilang malam dan siang hingga Latta dan Uzza (kembali) disembah.” ‘Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh aku mengira bahwa ketika Allah menurunkan ayat, ‘Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik benci.’ [5] Semuanya telah sempurna (berakhir).” Beliau bersabda, “Sesungguhnya hal itu (kemusyrikan) akan terjadi sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Dia mengutus angin yang lembut, lalu mewafatkan setiap orang yang memiliki keimanan seberat biji sawi dalam hatinya, sementara orang yang tidak memiliki kebaikan akan tetap ada, selanjutnya mereka kembali kepada agama nenek moyang mereka.” [6]

Bentuk-bentuk kemusyrikan sangat banyak, tidak terbatas hanya menyembah bebatuan, pepohonan dan kubur saja, bahkan sampai kepada menjadikan thaghut (orang yang disembah dan dia ridha) sebagai ilah yang disembah selain Allah Ta’ala, mereka membuat syari’at sendiri, dan mewajibkan manusia untuk mengambil hukum darinya dengan meninggalkan syari’at Allah, dengan itu mereka telah menempatkan diri mereka sebagai ilah bersama Allah dan mensucikannya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai ilah selain Allah....” [At-Taubah: 31]

Maknanya adalah mereka telah menjadikan ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai ilah yang membuat hukum bagi mereka, dan mereka mengikutinya dalam segala hal yang mereka halalkan (apa yang diharamkan Allah) dan yang mereka haramkan (apa yang dihalalkan Allah).[7]

Jika hal ini hanya dalam hal menghalalkan dan mengharamkan, maka bagaimana pula orang-orang yang melemparkan (membuang ajaran) Islam, dan memeluk paham-paham menyimpang dan yang sesat, seperti sekulerisme, komunisme, sosialisme, dan nasionalisme, kemudian mereka mengaku sebagai kaum muslimin?!!

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Sunan Abi Dawud (XI/322-324, ‘Aunul Ma’buud), Jaami’ at-Tirmidzi (VI/466), at-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini shahih.”
[2]. (الْخَلَصَةُ) dengan huruf kha yang difathahkan sementara lam setelahnya berharakat, inilah yang lebih masyhur di dalam keabsahan harakatnya. Khalashah adalah pohon dengan biji berwarna merah, bagaikan marjan akik.
Dzul Khalashah adalah nama bagi sebuah rumah yang di dalamnya ada berhala. Ada juga yang mengatakan bahwa Khalashah adalah nama rumah, sementara Dzul Khalashah nama berhala.
Dzhul khalashah nama untuk dua berhala yang masing-masing dari keduanya disebut Dzul Kha-lashah, salah satunya milik Daus, dan yang milik Khats’am juga yang lainnya dari kalangan bangsa Arab.
Adapun berhala Daus, maka ialah yang dimaksud dalam hadits. Tempat berhala ini terkenal sampai saat ini di negeri Zahran (sebelah selatan Tha-if), tegasnya pada sebuah tempat yang bernama Tsaruq dari perkampungan Daus. Dzul Khalashah terletak dekat dengan sebuah perkampungan dari beberapa perkampungan yang diberi nama (رَمَسُ) dengan huruf ra dan mim yang difathahkan. Sebelumnya Dzhul Khalashah ada pada reruntuhan batu tinggi yang dibatasi dari sebelah timur oleh perkampungan Dzil Khalashah dan dari sebelah barat oleh Tihamah. Sebagian batu besar bekas bangunan tetap ada di atas reruntuhan tersebut. Ini menunjukkan adanya bangunan kuat pada tempat tersebut.
Lihat Fat-hul Baari (VIII/71), dan kitab Surrat Ghaamidin wa Jahraan (hal. 336-340), karya Hamd Jasir.
Adapun berhala Khats’am dinamakan pula Dzul Khalashah, ia adalah sebuah rumah yang dibangun oleh dua kabilah dari Arab. Keduanya adalah Khats’am dan Bahilah, keduanya ingin menandingi Ka’bah dengan bangunan tersebut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali dengan membawa seratus lima puluh pasukan berkuda, lalu mereka menghancurkannya dan membakarnya.
Kisah tentang penghancurannya diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahiihnya (VIIII/ 70-7, al-Fat-h) kitab al-Maghaazi, bab Ghazwatu Dzil Khalashah.
Sedangkan berhala Khats’am terletak di Tibalah, daerah yang terletak di antara Makkah dan Yaman dengan perjalanan tujuh malam dari Makkah. Telah dibangun di tempat itu sebuah masjid jami untuk sebuah negeri dari tanah Khats’am yang bernama al-‘Abalat.
Lihat Mu’jamul Buldaan (IV/80), dan kitab Fi Surraat Ghaamid wa Zahraan (hal. 343-344) Mansyurat Darul Yamamah, Riyadh, th. 1391 H.
[3]. Shahiihul Bukhari, kitab al-Fitan, bab Taghayyuriz Zamaan hatta Tu’badul Autsaan (XIII/76, al-Fat-h) (no. 7116), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/32-33, Syarh an-Nawawi).
[4]. Lihat kitab Ithaaful Jamaa’ah (I/522-533), dan Surrat Ghaamid wa Zahraan (hal. 347-349).
[5]. Ash-Shaff: 9.
[6]. Shahiih Muslim syarh an-Nawawi, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XXXIII/ 18, Syarh an-Nawawi).
[7]. Lihat Tafsiir Ibni Katsir (IV/77).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

24. Berdekatannya Pasar

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

24. BERDEKATANNYA PASAR
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَظْهَرَ الْفِتَنُ، وَيَكْثُرَ الْكَذِبُ، وَيَتَقَارَبَ اْلأَسْوَاقُ.

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga muncul berbagai fitnah, banyaknya kebohongan, dan berdekatannya pasar.” [1]

Syaikh Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah [2] berkata, “Adapun berdekatannya pasar, maka telah ada sebuah riwayat yang menjelaskannya di dalam sebuah hadits dha’if, yaitu kelesuan pasar dan sedikitnya keuntungan, yang jelas -wallaahu a’lam- bahwa hal itu merupakan isyarat terhadap apa yang terjadi di zaman kita sekarang ini berupa berdekatannya penduduk bumi; hal itu karena adanya alat transportasi udara atau darat, alat-alat elektronik yang bisa mengirim suara, seperti siaran radio, dan telepon, yang dengannya pasar-pasar di berbagai belahan dunia menjadi dekat. Maka tidaklah terjadi perubahan harga di suatu negara kecuali para pedagang -atau kebanyakan dari mereka- di negeri-negeri lain mengetahuinya, maka hal itu bisa menambah harga jika (di tempat lain pun bertambah), dan bisa menguranginya jika (di tempat lain pun) berkurang, para pedagang dengan kendaraannya pergi ke pasar-pasar di perkotaan yang perjalanan sebelumnya membutuhkan beberapa hari, lalu dia memenuhi kebutuhannya di sana dan kembali hanya dalam satu hari atau kurang, seseorang pergi menggunakan pesawat ke pasar di berbagai kota yang sebelumnya perjalanan tersebut membutuhkan sebulan atau lebih, dia memenuhi kebutuhannya di sana dan kembali hanya dalam waktu satu hari atau kurang.
Berdekatannya pasar ditinjau dari tiga sisi:

Pertama : Cepatnya berita terhadap apa yang akan terjadi di dalamnya berupa bertambah dan berkurangnya harga.

Kedua : Cepatnya perjalanan dari satu pasar ke pasar lain, walaupun per-jalanannya sangat jauh.

Ketiga : Persaingan harga antara yang satu dengan yang lain dan persaingan pedagang dalam menaikkan atau menurunkan harga, wallaahu a’lam. [3]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Musnad Ahmad (II/519, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz).
[2]. Beliau adalah al-‘Allamah Syaikh Hamud bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri an-Najdi, salah seorang ulama kontemporer, sekarang beliau bertempat tinggal di Riyadh. Beliau memiliki beberapa karya tulis, di antaranya: Ithaaful Jamaa’ah bima Jaa-a fil Fitan wal Malaahim wa Asyraatus Saa’ah dalam dua jilid, beliau memiliki beberapa risalah kecil dan bantahan, seperti ash-Shaarimul Masluul ‘ala Ahlit Tabarruj was Sufuur, at-Tanbiihaat ‘ala Risaalatil Albani fish Shalaah dan Fashlul Khitaab fir Radd ‘ala Abi Turab juga yang lainnya.
[3]. Ithaaful Jamaa’ah (I/498-499).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

23. Berdekatannya Zaman (Singkatnya Waktu)

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


23. BERDEKATANNYA ZAMAN (SINGKATNYA WAKTU)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى... يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ.

‘Tidak akan tiba hari Kiamat hingga... zaman berdekatan.’” [1]

Dan diriwayatkan dari beliau Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ فَتَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ، وَيَكُونَ الشَّهْرُ كَالْجُمُعَةِ، وَتَكُونَ الْجُمُعَةُ كَالْيَوْمِ، وَيَكُونَ الْيَوْمُ كَالسَّاعَةِ، وَتَكُونَ السَّاعَةُ كَاحْتِرَاقِ السَّعَفَةِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma.”[2]

Ada beberapa pendapat para ulama tentang makna berdekatannya zaman, di antaranya:

Pertama : Maksudnya adalah sedikitnya keberkahan di dalam waktu.[3]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hal ini telah didapati pada zaman kita sekarang ini. Karena kita telah menjumpai cepatnya waktu berlalu yang tidak pernah kita temukan pada zaman sebelum kita.” [4]

Kedua : Maksudnya adalah apa yang akan terjadi pada zaman al-Mahdi dan Nabi ‘Isa Alaihissallam, di mana manusia menikmati kehidupannya, adanya jaminan keamanan, juga keadilan. Saat itu manusia merasakan singkatnya masa-masa kemakmuran padahal waktunya lama, dan masa-masa sulit dirasakan lama padahal singkat.[5]

Ketiga : Maksudnya adalah kedekatan (kemiripan) keadaan penghuninya dalam hal sedikitnya ilmu agama. Sehingga, tidak ada amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah-tengah mereka karena mendominasinya kefasikan dan para pelakunya. Secara khusus hal itu terjadi ketika upaya mencari ilmu ditinggal-kan serta ridha dengan kebodohan. Karena sesungguhnya manusia tidak sama dalam keilmuannya, dan beragamnya tingkatan ilmu mereka, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“... Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” [Yusuf: 76]

Dan mereka dikatakan sama hanya ketika dalam kebodohan.

Keempat : Maksudnya adalah berdekatannya orang-orang pada zaman tersebut karena banyaknya sarana-sarana perhubungan dan transportasi darat maupun udara yang mendekatkan jarak yang jauh.[6]

Kelima : Maknanya adalah singkatnya waktu, cepat secara hakiki, hal itu terjadi di akhir zaman.

Peristiwa ini belum terjadi sampai sekarang, hal itu diperkuat oleh riwayat yang menjelaskan bahwa hari-hari ketika Dajjal datang terasa lama, sehingga satu hari bagaikan satu tahun, bagaikan satu bulan dan bagaikan satu pekan. Sebagaimana hari-hari itu terasa lama, maka ia pun bisa terasa singkat [7]. Ini terjadi karena rusaknya tatanan alam, dan telah dekatnya kehancuran dunia.

Ibnu Abi Jamrah rahimahullah[8] berkata, “Kemungkinan yang dimaksud dengan dekatnya zaman adalah singkatnya (waktu) sesuai dengan yang diungkap dalam sebuah hadits:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga satu tahun bagaikan satu bulan.”

Oleh karenanya, maka singkatnya waktu bisa berupa sesuatu yang dapat dirasakan oleh indra atau sesuatu yang maknawi.

Adapun yang bisa dirasakan indra sama sekali belum nampak, mungkin hal itu terjadi sebagai tanda dekatnya Kiamat.

Adapun yang maknawi, hal itu sering terjadi. Hal itu dirasakan oleh para ulama dan orang-orang yang memiliki kecerdasan dalam ilmu dunia. Mereka mendapati diri mereka tidak mampu melakukan pekerjaan persis seperti yang dilakukan sebelumnya, mereka mengeluhkannya dan tidak mengetahui alasan akan hal itu, kemungkinan hal itu terjadi karena lemahnya keimanan yang disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran syari’at dalam berbagai hal, terutama pelanggaran dalam hal makanan. Tidak diragukan di dalamnya ada sesuatu yang murni haram dan yang syubhat, dan kebanyakan manusia tidak berhenti mengkonsumsi hal itu, walaupun ia sanggup untuk mendapatkan sesuatu yang halal, akan tetapi dia tetap mengambilnya tanpa mau peduli.

Dan kenyataannya bahwa keberkahan dalam waktu, rizki, dan tumbuhan hanya dapat diwujudkan dengan kekuatan iman, mengikuti perintah, dan menjauhi larangan, dalil akan hal itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi....” [Al-A’raaf: 96][9]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiihul Bukhari, kitab al-Fitan (XIII/81-82, al-Fath).
[2]. Musnad Ahmad (II/537-538, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz), dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Anas, lihat Jaami’ at-Tirmidzi, bab-bab az-Zuhd bab Ma Jaa-a fii Taqaarubiz Zamaan wa Qashril Amal (VI/624, 625, Tuhfatul Ahwadzi).
Ibnul Katsir berkata, “Isnadnya berdasarkan syarat Muslim,” an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/181), tahqiq Dr. Thaha Zaini.
Al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah perawi ash-Shahiih,” Majma’uz Zawaa-id (VII/231).
Al-Albani berkata, “Shahih,” lihat kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (VI/175, no. 7299).
[3]. Lihat Ma’aalimus Sunan (VI/141-142, dengan catatan pinggir Mukhtashar Sunan Abi Dawud, karya al-Mundziri), Jaami’ul Ushuul, karya Ibnul Atsir (X/409), dan Fat-hul Baari (XIII/16).
[4]. Fat-hul Baari (XIII/16)
[5]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/16)
[6]. Lihat Ithaaful Jamaa’ah (I/497), dan al-‘Aqaa-idul Islaamiyyah (hal. 247), karya Sayyid Sabiq.
[7]. Mukhtashar Sunan Abi Dawud (VI/142), Jaami’ul Ushuul (X/409) tahqiq Muhammad ‘Abdul Qadir al-Arna-uth.
[8]. Beliau adalah al-‘Allamah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Sa’d bin Sa’id bin Abi Jamrah al-Azdi al-Andalusi al-Maliki, seorang alim di bidang hadits dan memiliki beberapa karya tulis, di antaranya: Jam’un Nihaayah merupakan ringkasan kitab Shahiih al-Bukhari, beliau pun memiliki kitab al-Maraa-il Hasan yaitu kitab tentang hadits dan tafsir mimpi.
Ibnu Katsir mengomentari beliau dengan perkataannya, “Al-Imam, al-alim, ahli ibadah… dia adalah orang yang selalu mengatakan kebenaran, memerintah yang ma’ruf dan melarang kemunkaran.”
Wafat di Mesir pada tahun 695 H t.
Lihat biografinya dalam al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/346), al-A’laam (IV/ 89).
[9]. Fat-hul Baari (XIII/17).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

21. Budak Wanita Melahirkan Tuannya

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

21. BUDAK WANITA MELAHIRKAN TUANNYA (RABBATAHA) [1]
Dijelaskan dalam hadits Jibril Alaihissallam yang panjang, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا.

“Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya.” [2] [Muttafaq ‘alaih]

Sementara dalam riwayat Muslim:

إِذَا وَلَدَتِ اْلأَمَةُ رَبَّهَا.

“Jika seorang sahaya wanita melahirkan tuannya.”

Para ulama berbeda pendapat tentang makna tanda Kiamat ini dengan berbagai pendapat. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan empat pendapat di antaranya:

Pertama : Al-Khaththabi berkata, “Maknanya adalah meluasnya kekuasaan Islam dan para pemeluknya dapat menguasai negeri-negeri syirik, dan banyaknya tawanan. Jika seorang laki-laki telah memiliki seorang budak wanita dan mendapatkan seorang anak darinya, maka anak itu bagaikan tuan bagi ibunya sendiri, karena ia adalah anak tuannya.”[3]

An-Nawawi rahimahullah mengungkapkan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. [4]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Akan tetapi jika dikatakan bahwa itulah maknanya, maka perlu dipertimbangkan kembali [5], karena pengambilan para budak wanita telah ada sejak hadits tersebut diungkapkan. Bahkan, penaklukan negeri-negeri syirik dan penawanan telah banyak terjadi di awal Islam. Redaksi hadits memberikan isyarat akan terjadinya sesuatu menjelang Kiamat yang sebelumnya belum pernah terjadi.” [6]

Kedua: Para tuan menjual ibu anak-anak mereka. Hal itu banyak terjadi, sehingga kepemilikan wanita tersebut berputar yang pada akhirnya dibeli oleh anak-anaknya sendiri, sementara dia tidak menyadarinya.

Ketiga: Seorang budak wanita melahirkan anak merdeka bukan dari tuannya dengan jima’ syubhat, atau melahirkan seorang budak belian dengan nikah, atau hasil zina. Kemudian budak belian dalam dua gambaran tersebut dijual dengan akad yang sah, ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya hingga dibeli oleh putera dan puterinya sendiri. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat sebelumnya.

Keempat: Banyaknya perbuatan durhaka dari anak-anak. Sehingga, seorang anak memperlakukan ibunya seperti seorang tuan memperlakukan budak beliannya, dengan mencela, memukul dan memperkerjakannya. Maka dia disebut sebagai tuannya dengan makna yang tidak sebenarnya, atau yang dimaksud dengan kata rabb di sini adalah orang yang mengatur secara hakiki.

Kemudian Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lebih kuat menurutku, karena maknanya yang umum dan karena keadaan menunjukkan sesuatu yang dianggap langka -di sisi lain menunjukkan rusaknya keadaan- dan mengandung isyarat sesungguhnya hari Kiamat sudah dekat ketika segala urusan terjadi dengan terbalik, di mana seorang pengatur menjadi yang diatur, orang yang di bawah menjadi di atas, dan hal ini sesuai dengan sabda beliau tentang tanda yang lainnya bahwa seseorang yang berjalan tanpa alas kaki menjadi raja-raja di bumi.” [7]

Kelima: Pendapat kelima ini adalah pendapat al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya budak-budak wanita akan didapatkan di akhir zaman. Merekalah yang diisyaratkan dengan ungkapan hisymah (kerabat), di mana saat itu, budak wanita lebih diminati oleh majikannya daripada isteri-isterinya yang bukan budak. Karena itulah ungkapan tersebut disertakan dengan ungkapan:

وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ.

“Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang, juga miskin berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [8]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Di dalam satu riwayat (dengan kata) rabbuha. Ibnul Atsir berkata, “Ar-Rabb dalam bahasa Arab secara mutlak maknanya adalah raja, tuan, pengatur, pembimbing, penegak, dan pemberi nikmat, tidak diungkapkan secara mutlak kecuali untuk makna yang dihubungkan kepada Allah. Adapun jika dimaksudkan kepada selain Allah, maka harus dihubungkan (kepadanya), seperti رَبُّ كَذَا (pemilik ini), an-Nihaayah (II/179).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalu Jibriil (I/114, al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi).
[3]. Ma’aalimus Sunan ‘ala Mukhtashar Sunan Abi Dawud (VII/67), nash ini terdapat dalam Fat-hul Baari (I/122).
[4]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (I/158).
[5]. Al-Hafizh Ibnu Katsir pun menganggap bahwa pendapat ini tidak tepat.
Lihat kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177-178).
[6]. Fat-hul Baari (I/122).
[7]. Fat-hul Baari (I/122-123) dengan diringkas.
[8]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177) tahqiq Dr. Thaha Zaini.

Artikel: http://almanhaj.or.id/

22. Banyaknya Pembunuhan

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

22. BANYAKNYA PEMBUNUHAN
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْهَرْجُ، قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْقَتْلُ، الْقَتْلُ.

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga banyak al-harj,” mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan, pembunuhan.” [HR. Muslim][1]

Sementara dalam riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah anhu:

بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَيَّامُ الْهَرْجِ، يَزُولُ فِيهَا الْعِلْمُ، وَيَظْهَرُ فِيهَا الْجَهْلُ، قَالَ أَبُو مُوسَى: وَالْهَرْجُ: الْقَتْلُ، بِلِسَانِ الْحَبَشَةِ.

“Menjelang datangnya hari Kiamat akan ada hari-hari al-harj, saat itu ilmu hilang dan muncul kebodohan.” Abu Musa berkata, “Al-harj adalah pembunuhan menurut bahasa Habasyah.” [2]

Diriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ الْهَرْجَ. قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ؟ قَالَ الْقَتْلُ. قَالُوا أَكْثَرُ مِمَّا نَقْتُلُ، إِنَّا لَنَقْتُلُ الْعَامِ الْوَاحِدِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ أَلْفًا. قَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِقَتْلِكُمُ الْمُشْـرِكِينَ، وَلَكِنْ قَتْلُ بَعْضِكُمْ بَعْضًا. قَالُوا: وَمَعَنَا عُقُولُنَا يَوْمَئِذٍ. قَالَ: إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ، وَيُخَلَّفُ لَهُ هَبَاءٌ مِنَ النَّاسِ، يَحْسِبُ أَكْثَرُهُمْ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ وَلَيْسُوا عَلَى شَيْءٍ.

“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat akan ada al-harj.” Para Sahabat bertanya, “Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan.” Mereka berkata, “Lebih banyak daripada pembunuhan yang kita lakukan, sesungguhnya kita membunuh lebih dari tujuh ribu dalam satu tahun.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah pembunuhan yang kalian lakukan terhadap kaum musyrikin, akan tetapi pembunuhan sebagian dari kalian dengan yang lainnya.” Mereka berkata, “Bukankah kami memiliki akal saat itu,” beliau menjawab, “Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu dan digantikan dengan manusia-manusia yang tidak berarti. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa mereka berada di atas kebenaran, padahal mereka tidak berada di atas kebenaran.” [3]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّـى يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ يَوْمٌ لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِيمَ قَتَلَ؟ وَلاَ الْمَقْتُولُ فِيمَ قُتِلَ فَقِيلَ: كَيْفَ يَكُونُ ذَلِكَ؟ قَالَ: الْهَرْجُ، الْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ.

‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah dunia lenyap hingga datang kepada manusia suatu hari di mana seorang pembunuh tidak tahu kenapa dia membunuh, demikian pula orang yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh,’ beliau ditanya, ‘Bagaimana hal itu (bisa terjadi)?’ Beliau menjawab, ‘Banyaknya pembunuhan, orang yang membunuh dan terbunuh berada di dalam Neraka.’” [4]

Apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini sebagiannya telah terbukti. Telah terjadi peperangan antara kaum muslimin pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu. Kemudian peperangan menjadi sering terjadi di berbagai tempat sementara tidak terjadi di tempat lainnya, juga pada sebagian zaman sementara tidak terjadi pada yang lainnya, dan tanpa diketahui sebab-sebab terjadinya dari sebagian besar peperangan itu.

Bahkan apa yang terjadi pada kurun-kurun terakhir berupa peperangan yang sangat dahsyat di antara umat manusia, yang memakan korban ribuan jiwa, tersebarnya fitnah di tengah-tengah manusia dengan sebab banyaknya pembunuhan. Hingga seseorang membunuh yang lainnya sementara dia tidak tahu faktor apa yang mendorongnya untuk membunuh.

Demikian pula, tersebarnya senjata-senjata penghancur masal memiliki peran penting terjadinya banyak pembunuhan. Sehingga manusia menjadi barang yang tidak berharga, dia disembelih sebagaimana kambing disembelih. Semua itu disebabkan oleh kelemahan dan hilangnya akal. Maka ketika fitnah itu terjadi, seseorang membunuh sementara yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh dan atas dasar apa ia dibunuh? Bahkan kita menyaksikan sebagian manusia membunuh orang lain hanya karena sebab-sebab yang sepele. Hal itu terjadi ketika kegalauan menimpa manusia, demikianlah sesuai dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ.

“Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu”.

Hanya kepada Allah kita memohon keselamatan dan berlindung kepada-Nya dari segala fitnah yang nampak dan tersembunyi.

Telah dijelaskan (dalam sebuah riwayat) bahwa umat ini adalah umat yang dirahmati, ia tidak akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan siksanya di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa, dan pembunuhan. Dijelaskan dalam hadits, dari Shadaqah bin al-Mutsanna, Rabah bin al-Harits meriwayatkan kepada kami, dari Abu Burdah, beliau berkata:

بَيْنَا أَنَا وَاقِفٌ فِي السُّوْقِ فِي إِمَارَةِ زِيَادٍ إِذْ ضَرَبْتُ بِإِحْدَى يَدَيَّ عَلَى الأُخْرَى تَعَجُّبًا، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَدْ كَانَتْ لِوَالِدِهِ صُحْبَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِمَّا تَعْجَبُ يَا أَبَا بُرْدَةَ؟ قُلْتُ: أَعْجَبُ مِنْ قَوْمٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ، وَدَعْوَتُهُمْ وَاحِدَةٌ، وَحَجُّهُمْ وَاحِدٌ، وَغَزْوُهُمْ وَاحِدٌ، يَسْتَحِلُّ بَعْضُهُمْ قَتْلَ بَعْضٍ. قَالَ: فَلاَ تَعْجَبْ ! فَإِنِّي سَمِعْتُ وَالِدِيْ أَخْبَرَنِيْ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ مَرْحُوْمَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فيِ اْلآخِرَةِ حِسَابٌ وَلاَ عَذَابٌ، إِنَّمَا عَذَابُهَا فيِ الْقَتْلِ وَالزَّلاَزِلِ وَالْفِتَنِ.

“Ketika aku sedang berdiri di sebuah pasar pada masa pemerintahan Ziyad, tiba-tiba aku memukul salah satu tanganku ke tangan yang lainnya karena merasa aneh. Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar di mana bapaknya adalah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berkata, ‘Apakah yang menjadikanmu merasa aneh wahai Abu Burdah?’ ‘Aku merasa aneh terhadap satu kaum di mana agama mereka adalah satu, dakwah mereka satu, haji mereka satu, dan peperangan mereka satu, akan tetapi sebagian mereka menganggap halal pembunuhan sebagian lainnya,’ jawabku. Dia berkata, ‘Jangan kau merasa aneh! Karena sesungguhnya aku mendengar bapakku mengabarkan kepadaku bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya umatku adalah umat yang disayangi, tidak ada hisab juga siksa baginya di akhirat, siksa hanyalah berupa pembunuhan, gempa bumi dan berbagai macam fitnah.’” [5]

Sementara dalam riwayat dari Abu Musa Radhiyallahu anhu:

إِنَّ أُمَّتِي أُمَّةٌ مَرْحُومَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ إِنَّمَا عَذَابُهُمْ فِي الدُّنْيَا: الْقَتْلُ وَالْبَلاَبِلُ وَالزَّلاَزِلُ.

“Sesungguhnya umatku adalah umat yang dirahmati, tidak ada siksa baginya di akhirat, siksa mereka hanya di dunia berupa pembunuhan, kegalauan dan gempa bumi.” [6]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/13, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Zhuhuurul Fitan (XIII/14, al-Fat-h).
[3]. Musnad Imam Ahmad (IV/414, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal), Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan, bab at-Tatsabbut fil Fitnah (II/1309, no. 3909), dan Syarhus Sunnah, bab Asyraatus Saa’ah (XV/28-29, no. 4234).
Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (II/193, no. 2043).
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/35, Syarh an-Nawawi).
[5]. Mustadrak al-Hakim (IV/253-254), beliau berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Hadits ini shahih, lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684-686).
[6]. Musnad Ahmad (IV/410, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’sh Shaghiir (II/104, no. 1734), dan Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684, no. 959).

Artikel: http://almanhaj.or.id/

20. Berlomba-Lomba Meninggikan Bangunan.

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil


20. BERLOMBA-LOMBA MENINGGIKAN BANGUNAN
Ini adalah salah satu tanda Kiamat yang muncul dekat dengan masa kenabian. Setelah itu menyebar sehingga manusia berbangga-bangga membuat bangunan tinggi dan menghiasi rumah. Hal itu disebabkan karena dunia dibentangkan kepada kaum muslimin dan melimpahnya harta digenggaman mereka setelah banyaknya penaklukan. Demikianlah keadaannya dalam waktu yang lama hingga banyak dari mereka yang tunduk pada dunia, dan penyakit umat sebelum mereka menjalari mereka, yaitu berlomba-lomba mengumpulkan harta dan menggunakannya pada tempat yang tidak layak menurut pandangan agama, hingga orang-orang badui dan yang semisalnya dari kalangan orang-orang fakir dilapangkan untuk memperoleh dunia seperti yang lainnya. Mereka mulai mendirikan bangunan bertingkat dan berlomba-lomba di dalamnya.

Semua hal ini telah terjadi, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang waktu terjadinya Kiamat:

وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكَ عَنْ أَشْـرَاطِهَا... (فَذَكَرَ مِنْهَا:) وَإِذَا تَطَاوَلَ رِعَاءُ الْبَهْمِ فِي الْبُنْيَانِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا.

“Akan tetapi aku akan menyebutkan kepadamu tanda-tandanya… (lalu beliau menyebutkan, di antaranya:) jika para pengembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan, maka itulah di antara tanda-tandanya.” [1]

Sementara dalam riwayat Muslim diungkapkan:

وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ.

“Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang lagi miskin yang mengembala domba, berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [2]

Dan dijelaskan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

يَا رَسُـولَ اللهِ، وَمَنْ أَصْحَابُ الشَّاءِ وَالْحُفَاةُ الْجِيَـاعُ الْعَالَةُ قَالَ: اَلْعَرَبُ.

“Wahai Rasulullah, dan siapakah para pengembala, orang yang tidak memakai sandal, dalam keadaan lapar dan yang miskin itu?” Beliau menjawab, “Orang Arab.” [3]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ... حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ.

“Tidak akan datang hari Kiamat… hingga manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan.” [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Makna berlomba-lomba meninggikan bangunan adalah setiap orang yang membangun rumah ingin jika rumahnya itu lebih tinggi daripada yang lainnya. Mungkin pula maknanya adalah berbangga-bangga dengan memperhias dan memperindahnya, atau makna yang lebih umum dari itu. Hal itu telah banyak ditemukan bahkan bertambah banyak.”[5]

Hal ini telah nampak dengan jelas di masa sekarang ini. Orang-orang banyak berlomba mendirikan bangunan, merasa bangga dengan ketinggian, luas, dan keindahannya, bahkan masalah ini sampai pada pembangunan gedung pencakar langit yang terkenal di Amerika dan negeri-negeri lainnya.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya J ‘anil Iimaan wal Islaam, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/161-164).
[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi).
[3]. Musnad Ahmad (IV/332-334, no. 2926), Syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
Al-Haitsami berkata, “Ahmad dan al-Bazzar meriwayatkan dengan yang semisalnya… dan di dalam sanad Ahmad ada Syahr bin Hausyab.” (Majma’uz Zawaa-id I/38-39).
Al-Albani berkata, “Sanad ini tidak mengapa.” Lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah.” (III/ 332, no. 1345).
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab (tanpa bab) (XIII/81-82, al-Fat-h).
[5]. Fat-hul Baari (XIII/88).


Artikel: http://almanhaj.or.id/